Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Indahnya Lebaran Ketika Masih Muslim

24 Mei 2020   21:43 Diperbarui: 24 Mei 2020   21:44 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum memulai tulisan ini, saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri bagi sesamaku umat Muslim, mohon maaf lahir dan batin. Semoga di hari kemenangan ini kita semakin getol mempurifikasi diri kita dalam berbagai aspek kehidupan.

Saya seorang katolik yang pernah menjadi seorang Muslim.  Beberapa puluh tahun silam saya dibesarkan dari keluarga muslim yang taat dan toleran. Sampai kini silaturahmi dengan keluarga Muslim tetap terjalin indah. Sekat keyakinan bagiku bukan alasan untuk berkonflik melainkan sebuah keindahaan yang tiada taranya.

Hari kemenangan ini mengingatkanku pada puluhan tahun lalu ketika merayakan Lebaran bersama keluarga dan teman bermainku saat kecil. Masih teringat jelas nama Muhidin, Sulaiman, Siti Dan, Hanan dan Sumarni yang kini menjadi Muslim yang taat.

Entah di mana mereka kini, yang pasti saat ini mereka tengah bahagia merayakan hari kemenangan ini. Nama-nama yang saya sebutkan di atas adalah teman Muslimku sejak kecil dan saya yang paling muda di antara mereka.

Masih teringat jelas suara takbir waktu itu di dusun tua nan sepi. Saya yang masih bocah, sekitar 7 tahun umurku, belum mengerti apa artinya berpuasa. Nenekku yang kini masih diberi kesempatan untuk berkarya di dunia membangunkan aku tiba-tiba karena Hanan, Sulaiman dan Muhidin sudah menungguku di depan rumah. Tak berapa lama kemudian kami pun berjalan beriringan menuju masjid.

Hari itu sungguh istimewa. Salat Idul Fitri untuk pertama kalinya dilangsungkan di depan mesjid yang baru didirikan. Mesjid itu masih diatapi dengan daun kelapa dan dindingnya masih menggunakan belahan bambu. Yah, sederhana tetapi mengandung sejuta makna karena menghadir Ar-Rahman.

Setelah melakukan salat kami bersalam-salaman. Sebagai anak kecil, saya pun belum mengenal apa artinya bersalam-salaman. Setiap orang yang kami jumpai di jalan selalu kami salami. Meskipun tak mengerti makna salam-salaman tetapi setidaknya kami terlatih untuk membiasakan diri bersalam-salaman sejak kecil.

Rumah pertama yag kami kunjungi saat itu adalah rumahnya Hanan. Kue jawada alias kue kas orang Kedang dan teh manis yang disuguhkan tanpa sisa kami sikat. Ada juga sarabe, salah satu jenis kue lokal yang sampai sekarang masih trend di tanah Kedang, Kabupaten Lembata, NTT. Bibir kami penuh dengan santan kelapa, karena memang sarabe itu sangat nikmat bila dicelupkan ke dalam santan kelapa sebelum diceploskan ke dalam mulut.

Selepas melahap sajian di rumah Hanan, kami langsung menyerang ke rumah Sulaiman. Di sana mamanya Sulaiman menyediakan jagung titi dan ikan panggang. Seperti biasa kami tak membiarkan ada yang tersisa di atas piring.

Masih beberapa rumah yang kami singgahi yang tidak saya kisahkan di sini. Bukan soal lesatnya makanan yang membuat Lebaran itu menjadi paling berkesan bagi saya. Bukan juga soal pakaian baru yang dibelikan nenekku di pasar rombengan. Lebaran itu mengesankan karena kasih sayang umat Muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun