Pada mulanya, kata "cinta" memiliki arti susah hati. Penakrifan ini barangkali sudah luput dari pandangan kebanyakan orang saat ini. Tersebab, takrif yang demikian hanya berlaku pada bahasa Melayu Klasik.
Awang Sariyan, seorang pakar bahasa Melayu asal Malaysia, mengidentifikasi bahwa bahasa Melayu Klasik berlaku pada abad ke-13 hingga abad ke-19. Bahasa ini dijadikan bahasa resmi kerajaan Islam pertama di Aceh Timur, Samudra Pasai, saat dipimpin oleh Sultan Malikul Salih.
Sejak itu pula penggunaan bahasa Melayu Klasik menyebar ke penjuru Asia Tenggara. Bahkan, pada abad ke-14, bahasa Melayu Klasik makin menemukan puncak kejayaannya.
Penggunaan aksara Jawi atau yang kerap disebut Arab pegon turut mendorong perkembangan bahasa Melayu Klasik di seluruh penjuru Nusantara. Lewat aksara ini, banyak para pengarang kitab maupun sastrawan menuliskan karya-karya mereka dengan huruf Arab yang berbahasa Melayu.
Di sinilah, titik tolak kemajuan bangsa Melayu. Mereka tak hanya memodifikasi aksara, namun dengan cara ini pula mereka menemukan media komunikasi yang canggih pada masanya. Sampai-sampai orang Belanda pun kerap kebingungan dalam mengalihaksarakan karya-karya para pujangga maupun para ulama.
Seperti diungkap Yapi Tambayong (2012), kesalahan pengalihaksaraan itu banyak dilakukan para orientalis Belanda. Hanya, pada masa berikutnya, kesalahan alih aksara itu justru yang dibakukan ke dalam kamus resmi bahasa Indonesia.
Misal, pada penulisan kata dialihaksarakan menjadi "atau". Padahal, dalam kaidah penulisan aksara Jawi atau aksara Arab pegon huruf di akhir kata tersebut tidak tergolong vowel. Maka, mestinya alih aksara kata tersebut adalah "atawa".
Ibarat nasi yang kadung membubur, tanpa dikunyah pun ia bisa saja meluncur lancar ke tenggorokan. Malah sampai perut tanpa hambatan. Yang kadung keliru boleh jadi tak perlu dipermasalahkan. Mungkin, ini sekadar pengetahuan belaka.
Akan tetapi, jika mengurutkan lagi ke masa yang lebih lama, kata "cinta" dalam bahasa aslinya, yaitu Sanskerta, memiliki arti yang jauh berbeda. "Cinta" searti dengan pikiran, refleksi, pertimbangan, kekhawatiran, dan kegelisahan. Hanya, kata ini tergolong kata benda (nomina) yang dikategorikan ke dalam jenis feminin. Artinya, kata ini hanya bisa digunakan untuk menunjukkan bahwa subjek atau objek dari kata ini adalah perempuan.
Dengan kata lain, kata "cinta" menunjukkan pikiran, refleksi, pertimbangan, kekhawatiran, dan kegelisahan seorang perempuan. Jadi, kata "cinta" dalam bahasa Sanskerta tidak bisa digunakan untuk laki-laki.