Ternyata, melupakan lebih sulit dari mengingat. Untuk mengingat, ada banyak cara. Seperti dulu, saat di sekolah. Setiap pelajaran Kimia, Bu Suci kerap mengajarkan cara-cara mengingat tabel nama unsur kimia.Â
Diulang dan terus diulang. Bagiku, tak ada soal. Aku mudah menghafal. Sampai sekarang, setelah dua anakku tumbuh meremaja, aku masih ingat yang ia ajarkan; jembatan keledai.Â
Itu seperti permainan kata. Aku bahkan sering mengotak-atik permainan kata itu dengan kata-kataku sendiri. Tentu, agar aku mudah mengingatnya.Â
Begitu pula pelajaran lain. Setiap guru selalu menyisipkan pelajaran tentang cara mengingat. Kalau salah seorang murid lupa, para guru tak segan menegur.Â
Kemudian, pelan-pelan menuntun agar ingatannya pulih. Ketika ingatan itu kembali, wajah para guru mendadak berbinar-binar. Namun, ketika ingatan itu tak juga memulih, wajah para guru bisa makin muram.Â
Rasanya lupa serupa kutukan. Tegah dan memfadihatkan. Setimbang dengan perbuatan dosa. Penuh siksa dan derita. Lupa tak boleh hadir di ruang-ruang kelas.Â
Bahkan, di seluruh ruang yang disediakan alam semesta. Dari kolong jembatan sampai kolong langit, lupa tak diberi tempat. Ia harus disembunyikan di tempat paling jauh, paling rahasia, paling tak terjamah manusia.Â
"Sri," suara itu tiba-tiba muncul, merambat bersama desau angin yang pelan menyusup di sela pintu yang terbuka. Kesadaranku yang sebentar ditimang lamunan masa lalu terbangun. Kupalingkan muka, memburu arah sumber suara. Rupanya Soka.Â
"Melamun lagi?" tegur Soka dengan sunggingan senyum berona ledekan. Lalu, menghampiri meja kerjaku. "Siapa?" pertanyaan itu membuat pikiranku meloncat dan limbung sejenak. Apa yang semula membayang berberaian. Aku segera merapikan potongan-potongan pikiran itu sebelum ia duduk di hadapan.Â
Sayang, aku terlambat. Ia duduk di hadapanku sebelum semuanya beres. Kulihat, tatapan mata Soka tajam. Memburu sesuatu yang tersembunyi di balik bola mataku. Lekas-lekas aku menangkis tatapan itu.Â