Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa yang Kehilangan Sejarah (Bagian 02)

8 Agustus 2022   02:43 Diperbarui: 9 Agustus 2022   02:22 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber foto kompas.com

Pity the nation that is full of beliefs and empty of religion.
Pity the nation that acclaims the bully as hero,
and that deems the glittering conqueror bountiful.

Sepenggal bait puisi yang ditulis Kahlil Gibran itu menyentak hati dan menampar pikiran saya. Apakah demikian yang terjadi pada bangsa ini pula? Saya tidak tahu. Yang saya rasakan, ada semacam kehampaan yang teramat pada bangsa ini. Dan itu, terjadi setelah sekian lama bangsa ini kehilangan akar sejarah dan tercerabut dari budayanya.

Sejarah dianggap barang kuno yang tak ada harganya. Atau sekadar barang antik yang cukup dipajang sebagai koleksi. Lantas, dengan bangganya memamerkan kepada bangsa-bangsa lain dengan mengatakan bahwa bangsa ini pernah mengalami kejayaan. Begitu penuh keyakinan tentang kejayaan itu, namun pemaknaannya kosong.

Begitu pula yang digelisahkan seorang filolog Sanskerta dan Jawa Kuno asal Universitas Gadjah Mada, K.R.T. Manu J. Widyaseputra. Terutama, saat ia menyaksikan praktik politik kekuasaan yang dijalankan hari ini. Ibarat buah yang jatuh dari pohon lalu nyemplung ke sungai dan terbawa deras arus sungai hingga tak mengenal lagi asal pohon buah itu.

Tak pelak, ia pun mengatakan, "Kalau sekarang ini situasi menjadi kacau balau, itu ya layak karena aturan-aturan ini (ketatanegaraan yang berakar pada sejarah masa lampau) tidak diikuti dengan baik oleh adat kita sendiri. Ini peradaban kita lho."

Pernyataan itu tak sekadar sebuah ungkapan menyayangkan, tetapi juga menunjukkan kegelisahan yang teramat dalam diri seorang yang sangat memahami sejarah peradaban Nusantara ini dari masa ribuan tahun silam. Selama bertahun-tahun ia berpuasa untuk tidak banyak bicara tentang banyak hal yang diketahuinya. Selama itu pula ia menahan diri, karena tahu apa-apa yang diketahuinya bisa saja menimbulkan 'kisruh' dunia pemikiran.

Kini, secara perlahan ia mulai buka suara. Menyampaikan risalah-risalah dari masa lampau, dari beragam literasi Nusantara kuno yang ia dalami. Tak lain karena ia menyaksikan pergeseran nilai-nilai dasar yang terlampau jauh. Ilmu pengetahuan hampir-hampir menjadi asing dalam pikiran manusia Nusantara, karena menganggap pengetahuan dari leluhur tak lagi berlaku. Padahal tidak demikian yang terjadi.

Seperti dalam urusan peralihan kekuasaan dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya di Nusantara ini. Bahwa peralihan itu tidak didasarkan oleh hasrat para raja untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, peralihan kekuasaan itu dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai upaya mereka mendharmakan diri sebagai seorang ksatria.

Memang, diakui pula bahwa proses peralihan kekuasaan itu dilaksanakan melalui yudha (perang). Tetapi, perang yang dimaksud bukan sekadar unjuk kekuatan dan untuk tujuan mencaplok kerajaan lalu menduduki kerajaan yang kalah. Perang di sini dimaknai sebagai dharmayudha. Yaitu, menjalankan misi suci untuk mewujudkan kekuasaan yang lebih baik, menuju pada strata yang lebih tinggi kehormatannya.

Ah, alam pikir kita yang hidup di era modern pasti menuntun kita untuk menggelengkan kepala sambil mencibir dan berkata, "Mustahil". Tetapi, begitulah kenyataannya, sebagaimana tercatat dalam berbagai literasi Nusantara Kuno ribuan tahun silam. Aturan mengenai peralihan kekuasaan bahkan disepakati oleh seluruh kerajaan di Nusantara pada masa itu. Ini membuat proses peralihan itu dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun