Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Batasan Sastra Lama dalam Sejarah Sastra Indonesia

21 September 2021   03:16 Diperbarui: 21 September 2021   03:43 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: nationalgeographic.grid.id

Kasus yang nyaris serupa juga dimunculkan Christopher New dalam bukunya Philosophy of Literature. Ia menyodorkan kasus drama King Lear karya Shakespeare yang oleh sebagian orang dinyatakan bukan sebuah karya sastra. Tetapi, dengan jeli ia lantas memberi penegasan bahwa King Lear merupakan sebuah karya sastra, dilihat dari bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana sastra itu mampu memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia.

Pandangan kedua tokoh itu hanya bagian kecil dari berbagai pendapat lain yang berseliweran di ruang sastra. Malah, J. Hillis Miller sempat memberi tambahan tentang penggunaan media. Menurutnya, di era kini, sastra tidak semata-mata berbentuk cetakan, melainkan pula merambah ke dunia maya.

Betapa, laju perkembangan sastra pada hakikatnya berjalan demikian pesat. Akan tetapi, definisi sastra dalam studi kesusastraan Indonesia masih terus berupaya menemukan hal-hal baru yang digali dari pengalaman-pengalaman masa lampau. Tentu, hal ini juga tak kalah pentingnya di dalam menyusun kembali pemahaman tentang apa itu sastra. Khususnya, sastra (di) Indonesia.

Sebagaimana telah dimafhumi, sejarah sastra Indonesia dibangun atas dua pondasi kesusastraan, sastra lama dan sastra modern. Oleh sebagian orang, istilah sastra lama kerap diidentikkan dengan sastra lisan. Sedang sastra Indonesia modern dibangun melalui tradisi sastra tulis. Istilah ini seolah-olah ingin memberikan semacam dikotomi di antara yang lama dengan yang dinyatakan sebagai 'modern'. Bahwa yang lama dianggap sebagai sastra yang ketinggalan zaman. Sementara yang modern, dianggap sebagai sastra yang mewakili kemajuan budaya.

Dengan demikian, sastra Indonesia modern seolah-olah bukan sebuah kelanjutan dari tradisi sastra lama. Sastra Indonesia modern adalah perwajahan sastra yang benar-benar baru. Benar-benar rasa Indonesia, bukan Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Bali, Dayak, Minang, dan sebagainya. Namun anehnya, yang disebut sastra lama ini pun tak tegas. Apakah sastra daerah di masa sebelum dikukuhkannya tonggak sejarah sastra Indonesia ada? Ataukah sastra yang mana? Kalaupun hanya pada sastra Melayu, lantas bagaimana dengan sastra-sastra daerah lainnya yang juga ikut berkembang dan memberi warna bagi perkembangsan sastra di masa sebelum era 1920-an itu?

Pemahaman yang demikian, saya kira, sangat menyederhanakan bahkan menggampangkan. Juga terkesan 'serampangan'. Faktanya, sastra lama yang ada di Indonesia sebelum Indonesia ada pun sudah ada yang berupa sastra tulis. Ada yang ditulis di atas daun lontar, ada pula yang ditulis di atas batu prasasti, dan sebagainya. Keberadaan karya-karya sastra lama juga menyebar se-antero bumi Nusantara. Hidup dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat, juga menjadi roh bagi kebudayaan mereka.

Kembali lagi pada istilah sastra itu sendiri. Seperti yang dipinjam A. Teeuw, istilah sastra yang mula-mula diambil dari bahasa Sanskerta, yang bermakna sebagai alat/sarana untuk pengajaran, maka definisi sastra lama pun mestinya tidak dengan menggunakan pendekatan kekinian. Mestinya, dikembalikan ke zaman ia berasal. Sehingga, sangat mungkin ada banyak yang terlewat.

Sebagai misal, di masa Kerajaan Kalingga, terdapat sebuah aturan hukum yang kemudian disebut sebagai Kalingga Dharmasastra. Artinya, aturan hukum pidana/perdata Kerajaan Kalingga itu disebut pula sebagai sastra. Demikian pula Kitab Manawa Dharmasastra, sebuah kitab hukum Hindu yang populer di masa Kerajaan Majapahit, disebut pula sastra. Kitab Primbon dalam budaya Jawa pun dulu disebut sebagai sastra.

Tetapi, mengapa definisi sastra lama justru sangat membatasi. Hanya berkutat pada sastra lisan dan jenis-jenis dongeng, pantun, gurindam, seloka, parabel, mantra, talibun, bidal, syair, karmina, hikayat, tambo, dan epos. Mengapa kakawin, macapat, sastra tembang, sastra gending, babad, doangang, rapang, kelong, dan lain-lainnya (yang tidak disebut sebagai sastra lama) tidak dimasukkan ke dalam kategori sastra lama? Jika demikian, patut dipertanyaan pula, apa sebenarnya ukuran yang digunakan dalam klasifikasi sastra lama tersebut?

Pertanyaan ini semoga membangkitkan kembali semangat para pengkaji sastra untuk memeriksa lagi hal-hal mendasar mengenai apa itu sastra dan pergeseran-pergeseran makna dari istilah sastra. Sehingga, penyusunan kembali sejarah sastra pun menjadi perlu untuk diurai secara lebih terperinci. 

Memang, pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi di tengah laju perkembangan zaman yang demikian pesat. Di satu sisi, kita tidak ingin ditinggal oleh laju perkembangan zaman, sehingga terus menyesuaikan diri dengannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun