Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Krisis Tanah Makam di Kota Pekalongan

10 September 2021   04:30 Diperbarui: 10 September 2021   18:03 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Betapa peliknya masalah tanah makam ini. Kami yang malam itu terlibat dalam obrolan ringan di warung itu juga tak menemukan solusinya. Hanya saja sempat saya sampaikan ketika itu, bagaimana kalau status tanah-tanah makam yang kadung jadi bangunan itu diusut lagi. 

Tetapi ya konsekuensinya berat juga. Khususnya, jika tanah-tanah makam itu sudah dihuni rumah-rumah warga. Apa mau warga digusur? Tentu tidak. Dan penggusuran akan menimbulkan dampak sosial yang cukup berat bagi warga.

Kalaupun terpaksa menggusur bangunan-bangunan fasitilas umum, dampaknya juga tak seringan membalikkan telapak tangan. Bisa saja sekolahnya jadi jauh. Kantor kelurahan juga jadi sulit diakses warga. Dan masih banyak lagi dampak yang mesti ditanggung warga.

Sekarang saja, di kampung saya, sudah tidak lagi menerima pemakaman jenazah dari kampung tetangga. Padahal, sebelumnya masih bisa. 

Sekarang, mereka yang tinggal di kampung sebelah mesti berjalan cukup jauh untuk memakamkan warganya yang meninggal. Itu pun masih berdesak-desak dengan makam yang sudah ada di situ. Bahkan, biaya pemakamannya pun lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya yang mesti ditanggung kalau dimakamkan di kampung saya.

Di hari lain, ketika dua sahabat saya mampir ke rumah. Kebetulan mereka ini adalah mahasiswa dan alumni IAIN Pekalongan, maka saya bawa obrolan itu menjadi diskusi kecil di rumah. Mereka pun baru sadar, bahwa problem tanah makam di kota yang luasnya cuma 45 kilometer persegi itu menjadi masalah yang rumit.

Di sela-sela obrolan ringan itu, sempat saya lontarkan gagasan, bagaimana jika tanah makam ini dijadikan ladang bisnis property. Keduanya mendadak terbelalak. Sepertinya tidak begitu bisa menerima gagasan itu. 

Menurut mereka, jika tanah makam dikomersilkan tentu akan ada besar konsekuensinya bagi masyarakat. Apalagi melihat kondisi ekonomi masyarakat kota Pekalongan yang rata-rata bekerja sebagai buruh.

Bisnis tanah makam, sekalipun mungkin saja bisa dijalankan, tetapi manfaatnya hanya akan dapat dirasakan oleh kalangan berada. Sementara kalangan menengah ke bawah, mungkin akan sangat sedikit sekali mendapatkan manfaatnya. 

Di sisi lain, ini juga akan meruncingkan kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat. Bukankah seseorang yang telah meninggal dunia itu tidak membawa apa-apa, termasuk kekayaannya? Tidak ada lagi beda antara yang miskin dan kaya.

Ya begitulah. Ini baru soal makam. Belum sampai surga atau neraka. Itu pun bisa menjadi kerepotan tersendiri. Jadi, sebelum bicara soal surga-neraka, mungkin perlulah setidaknya masalah tanah makam ini juga dibicarakan. Sekurang-kurangnya agar kita nggak lupa kalau sebelum memasuki alam akhirat, ada alam lain yang perlu dilalui, yaitu alam kubur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun