Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Sekolah Pertamaku Belajar Toleransi dan Kejujuran

6 Desember 2020   23:56 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:02 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi bisa disalurkan melalui kotak amal ataupun saat sedang ada musibah (dok.windhu)

Mataku menatap ibu yang sibuk menyiapkan rantang susun. Ibu mengisinya dengan berbagai hidangan lebaran. Ada ketupat, opor ayam, daging rendang, sambal goreng kentang ati dan sayur ketupat labu siam kacang panjang. Masih dilengkapi dengan kerupuk dan sambal.

"Buat siapa, bu?" Aku melihat ibu sangat bersih mengemasnya. Menutup rantang dengan rapi. Sangat menjaga kebersihan agar tidak ada yang tumpah walau sedikit. Ibu tersenyum. "Sana, tolong kirim ke Oma Adel," kata ibu.

Aku memandang ibu. "Oma Adel?" Ibu mengangguk. "Kenapa?" Yang  terbayang, adalah seorang nenek  berbadan gemuk yang biasanya selalu senang mengomentari. Selain itu, Oma Adel dan keluarganya, setahuku agamanya tidak sama dengan kami.

"Oma Adel nggak lebaran."ucapku coba beralasan. Enggan rasanya duduk diceramahi seorang nenek-nenek. Biasanya, ada saja yang akan dikomentari oma. Namun, perintah ibu untuk mengirimkan hidangan lebaran berdua dengan kakak wajib dilakukan. Rumah Oma memang hanya bersebelahan.

Jadi tidak ada kata lain. Kami memang dididik patuh pada orang tua. Kata ibu, justru Oma Adel dan keluarganya harus turut menikmati hidangan lebaran meski tidak merayakannnya. Biar ikut merasakan suka cita hari raya meski berbeda agama. Bahkan juga berbeda suku.     

Ibu meminta aku dan kakak untuk bersikap sopan dan berpakaian rapi saat bertamu. Jika ada pertanyaan dari Oma, harus menjawab dengan santun. Ibu menegur aku telah mengomentari fisik oma yang gemuk. "Kalau Oma memberi saran dengan maksud baik, itu kan bagus buatmu," kata ibu.

Begitulah ibu dalam ingatanku masa anak-anak. Kami belajar toleransi beragama sejak dini. Belajar menghargai perbedaan agama saat masih anak kecil. Juga, perbedaan suku. Kebetulan di kompleks perumahan tempat tinggal, dari dulu telah biasa berkumpul saat lebaran.

Setelah salat hari raya Idul Fitri, warga perumahan datang untuk bersilahturahmi dan saling maaf memaafkan di tanah lapang taman perumahan. Semua warga yang berbeda agama dan suku saling bersalaman saat itu.

Berbagi bisa disalurkan melalui kotak amal ataupun saat sedang ada musibah (dok.windhu)
Berbagi bisa disalurkan melalui kotak amal ataupun saat sedang ada musibah (dok.windhu)
Kenyataannya saat kecil, aku, kakak dan adik ternyata memang sangat senang ketika natal tiba, kami mendapatkan bingkisan kue natal yang beraneka dari tetangga yang merayakannya. Salah satunya Oma Adel. Rasanya enak-enak dan saya suka.

Aku belajar menghargai perbedaan. Soal perbedaan cara beribadah dan rumah ibadah, adalah kewajiban masing-masing sesuai agama yang dianutnya. Ibu mengajari untuk saling menghormati supaya rukun.

Ajaran untuk peduli lingkungan sekitar dan berbagi juga diajarkan ibu saat ada yang tertimpa musibah. Dulu saat masih SD, aku sering heran mengapa ibu mencuci bersih baju-baju yang sudah tidak terpakai karena kekecilan tapi masih dalam kondisi bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun