Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dari Tragedi Pilu dan Perdamaian Palu

5 Desember 2019   05:17 Diperbarui: 5 Desember 2019   13:52 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandar Udara Syukuran Aminuddin A (dok. pribadi)

"Yeay!" Akhirnya aku menjelajah juga tempat wisata di Luwuk Banggai, Banggai Laut, dan Kota Palu. Setelah sekian lama hanya menjadi sebuah keinginan yang ada di kepalaku. 

Dan Alhamdulillah, selesai sudah aku mengunjungi semua provinsi di Pulau Celebes ini. Meski kunjungan kali ini hanya mengunjungi beberapa tempat, ke Lembah Bada tidak kesampaian karena keterbatasan waktu. Paling tidak, daftar keingananku untuk menginjakkan kaki di Sulawesi Tengah kesampaian juga. 

Hari itu Selasa, 13.35 WITA, aku tiba di bandara Syukuran Aminuddin Amir. Hawa gerah terasa begitu cepat mengeringkan peluh dan mendidihkan keringat. Suasana bandara berjubel penumpang, pengantar, dan mereka yang setiap hari berada di sana. 

Di pintu bandara telah menunggu Prisma, teman Mapalamu Luwuk. Melewati pintu keluar bandara, aku dihadapkan hamparan laut yang membiru. Perjalanan dilanjutkan menuju pusat kota. Dimulai dari salat zuhur dan menyantap makan siang dengan menu ikan baronang bakar dan, yang harus selalu ada, sambal dabu-dabunya. 

Di Luwuk Banggai, aku hanya sebentar mengunjungi, Teluk Lalong dan Bukit Keles atau yang lebih dikenal dengan nama Bukit Kasih Sayang. Teluk Lalong seperti halnya kota lain di negeri +62, adalah alun-alun yang berupa teluk dengan berhiaskan bukit-bukit. 

Aku sangat menikmati vista dengan pemandangan bukit yang berjejer kokoh. Bukan sekadar panorama yang kukejar dengan mataku, apalagi kata Prisma, yang semakin meningkatkan hasrat bertualangku, "Ada Festival Teluk Lalong loh!" 

Lokasi Bukit Keles, untuk ukuran jarak mencari lokasi tamasya, tidak melelahkan bila berkendara dari pusat kota. Sore itu, aku duduk sambil melihat sang mentari meninggalkan peraduannya. Lalu malam hari kerlap-kerlip lampu di Kota Luwuk, tambahan pencuci mata dari kejauhan.

Bersama teman-teman dari Mapalamu Luwuk (dok. Pribadi)
Bersama teman-teman dari Mapalamu Luwuk (dok. Pribadi)
Sekitar pukul 19.30 WITA, Prisma mengantarku ke pelabuhan feri. Harga tiket Luwuk - Banggai Laut Rp. 95.000 per orang. Di kapal, kegiatanku pastilah tidur, mengurai lelah fisik dan letih mental. 

Aku bersyukur, suasana ombak laut sangat bersahabat. Hanya sedikit menggoncang badan kapal, mungkin hanya membelai dinding kapal besi itu. 

Suasana di Pelabuhan Tinakin Kab. Banggai Laut (dok. pribadi)
Suasana di Pelabuhan Tinakin Kab. Banggai Laut (dok. pribadi)

Pagi menjelang, kala kapal feri telah bersandar di Pelabuhan Tinakin, Banggai Laut. Aku berjalan keluar mencari masjid untuk menunaikan salat subuh. Sebelum salat, aku telah menginfokan Asdar, jika aku menunggu di masjid depan pelabuhan.

Asdar, Kasman Ando, dan Arhy Kafas adalah adik angkatanku di satu jurusan dari universitas terbesar di Kawasan Timur Indonesia, sedangkan Aul adalah kawan angkatanku. 

Mereka yang berbaik hati menemani perjalananku selama berada di Banggai Laut. Mulai dari menyelami keindahan Desa Tolisetubuno Kecamatan Banggai Utara Kabupaten Banggai Laut. 

Saat menyelam, aku melihat karang hasil transplantasi oleh pemda setempat. Aku juga diajak untuk melihat ikan khas Banggai Laut yakni Banggai Cardinal Fish yang sedang dibudidayakan. 

Menyelami keindahan bawah laut desa Tolisetubuno (dok. Aul)
Menyelami keindahan bawah laut desa Tolisetubuno (dok. Aul)
Malamnya mereka mengajak aku nongkrong di spot favorit anak-anak Banggai Laut yakni taman kota sambil menikmati pisang goreng dan teh manis. Tak mempan nostalgia, bila tidak dicampuri dengan bumbu cerita tentang "kenakalan" saat kuliah dulu. 

Kasman Ando mengajakku menikmati lobster. Sayang beribu sayang, ajakannya aku tolak. Bukan karena ada menu lain yang lebih menarik untuk lidah, tapi karena sesuatu di luar hasrat kuliner. 

Perjalananku masih panjang. Besok pagi, aku harus menempuh perjalanan Banggai Laut - Luwuk via laut dan dilanjutkan Luwuk - Palu via darat. Sebenarnya, andai ada tambahan hari, menikmati lobster harus menjadi daftar atas untuk dijalani. Mungkin lain kali.

Bersama teman-teman Kelautan Unhas di Banggai Laut (dok. pribadi)
Bersama teman-teman Kelautan Unhas di Banggai Laut (dok. pribadi)
Tiba di Pelabuhan Luwuk, supir mobil telah menjemputku, dan langsung menuju Kota Palu. Berangkat dari Luwuk, 20.48 WITA dengan harga sewa mobil Rp 250.000 per orang. Melewati malam, dengan tidur di jok, dan akan tiba esok pagi sekitar 08.00 WITA. Begitu saja, bagian ini tak ada yang patut kuceritakan. 

Tiba di Palu, aku langsung ke penginapan. "Mungkin siang atau sore hari, aku akan menjelajah kota ini." Begitu yang terbetik dalam opsi rencanaku. 

Di Palu, kuliner yang membuatku penasaran adalah kaledo. Aku pun mencoba menikmati kaledo stereo yang terletak di Jalan Diponegoro. Begitu kaledo terhidang di meja, aku mengurai perkiraan, "Jangan-jangan kaledo dan karedok sama, cuma beda di huruf ketiga dan tambahan satu huruf akhir." 

Ternyata sangat berbeda. Kaledo berasal dari Sulawesi Tengah, sedangkan karedok dari Jawa Barat. Bahan dasarnya pun berbeda. Karedok bahan utamanya berupa sayuran mentah seperti mentimun, taoge, kol, kacang panjang, daun kemangi, dan terong. 

Kaledo sendiri, dari bahan dasar saja, sudah membentuk kepanjangan yakni kaki lembu Donggala, meskipun sekarang lebih banyak menggunakan kaki sapi. Entah mengapa nama tak berubah menjadi kasado, dengan adanya bahan lain itu.

Sup kaki ini ternyata ukuran tulangnya sangat besar, dagingnya tebal dan berlimpah, ditambah sumsum di bagian dalam tulang. Sumsumnya dimakan pakai sedotan. Kuahnya ada asam-asamnya dan segar banget. 

Menyantap kaledo, harus diimbuhi dengan singkong rebus, ditambah taburan bawang goreng dan perasan jeruk nipis. Harga satu porsinya Rp. 60.000. 

Dengan porsi standar itu, makan kaledo ini aku tidak mampu menghabiskan, padahal lapar banget. Padahal, menempuh perjalanan darat Luwuk Banggai - Kota Palu, telah membuat ruang perut kosong sepertiganya.

Kaledo (dok. pribadi)
Kaledo (dok. pribadi)
Seniorku, Yulihardi, yang kusapa dengan tambahan panggilan "Kak" di depan namanya, telah lama tinggal di Kota Palu. Aku tak begitu ingat, entah berapa tahun lamanya. Ia mengajakku melihat dan mengunjungi daerah-daerah yang terkena dampak tsunami. 

Mulai ke Balaroa City, daerah yang merupakan saksi bisu dari likuifaksi. Ini daerah yang paling parah tertimpa bencana. Kawasan yang merupakan perumnas ini, semua bangunan hancur. 

Mendengar cerita langsung, lututku gemetar, aku merasa tak sanggup jika saat kejadian aku berada di daerah ini. Menurut Kak Yulihardi dan Bang Akbar, masih banyak mayat yang belum ditemukan, bahkan seminggu lalu ditemukan mayat oleh pemulung.

Balaroa (dok. pribadi)
Balaroa (dok. pribadi)
Dari sini aku diajak melihat untuk melihat Tugu Inkindo yang bola dunianya hilang entah ke mana, kemudian masjid terapung. Masjid terapung atau disebut juga Masjid Arqam Bab Al Rahman yang terletak di Pantai Lere sampai sekarang tetap diam di bibir pantai. Digerus ombak, masjid ini berdiri teguh meski saat ini tak berfungsi lagi. 

Dengan kekokohan bangunan rumah Allah ini, aku melihat masjid ini seperti suatu lambang keteguhan dan ketabahan bagi masyarakat yang berada di Kota Palu. Bisa menjadi simbol #PaluBangkit, sekaligus untuk mawas diri, mengapa bencana itu bisa muncul, di saat ribuan orang sedang berkumpul.

Tugu Inkido (dok. pribadi)
Tugu Inkido (dok. pribadi)

Mesjid Terapung (dok. pribadi)
Mesjid Terapung (dok. pribadi)

Terakhir menyusuri pantai Talise dan melihat jembatan kuning Ponulele yang menjadi ikon Kota Palu. Kata Kak Yulihardi, "Ndoltz jembatan kuning Ponulele ini memanjang dari barat ke timur. 

Jika memandang ke utara, maka akan terlihat laut Teluk Palu. Jika memandang ke barat maka yang nampak adalah pegunungan, begitu pun jika memandang ke Timur yang nampak pegunungan tetapi tidak setinggi di sisi barat. Nah jika memandang ke arah selatan, maka yang nampak adalah lembah Kota Palu".

Terakhir aku diajaknya ke Tugu Perdamaian. Lokasi ini tidak terlalu jauh dari Kota Palu, perjalanannya dengan jalur yang mendaki. Dikenakan biaya Rp. 10.000 per orang. Tiba di kawasan Tugu Perdamaian, aku disambut dengan pemandangan berupa hamparan lansekap Kota Palu.

Tampaklah kawasan Pantai Talise yang luluh lantak, karena tsunami. Aku sembunyikan kengerianku, seperti hilangnya matahari, yang terbenam di arah Tugu Perdamaian. 

Bangunan Tugu Perdamaian terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar berfungsi sebagai museum perdamaian, lantai dua sebagai museum seni budaya nusantara dan lantai tiga berfungsi sebagai museum bahaya penyalahgunaan narkoba. 

Pada puncak monumen terlihat patung obor yang merupakan simbol Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada bangunan itu, terdapat lambang semua tempat ibadah umat beragama yang ada di Indonesia. 

Mungkin dengan menggambarkan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa melalui kitab suci dan tempat-tepat ibadah, sebagaimana isi museum itu, bisa mengajarkan tentang keimanan, kedamaian, kebenaran bagi umat beragama di Indonesia. 

Aku katakan 'mungkin', karena ada saja yang menggunakan motif agama, untuk memerangi pemeluk keyakinan yang berbeda. Bangunan Tugu Perdamaian yang terdiri dari tiga tingkat juga, tentu saja memiliki makna yakni hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.

Masih di kawasan Tugu Perdamaian terdapat Gong Perdamaian. Aku pernah baca (entah di majalah atau apa) bahwa Gong Perdamaian yang ada di Kota Palu adalah gong keempat yang berada di Indonesia. 

Pada Gong Perdamaian, nampak logo kota dan kabupaten, di tengahnya ada logo 33 propinsi yang ada di Indonesia, juga peta Indonesia. Tertera tulisan Gong Perdamaian Nusantara, Sarana Persaudaraan dan Pemersatu Bangsa. Ada pula logo agama-agama yang ada di Indonesia di Indonesia.

Gong Perdamaian (dok. pribadi)
Gong Perdamaian (dok. pribadi)

Malam hari bertemu Adry, Bachtiar, dan Ical. Mereka mengajakku singgah di Tanaris caf. Bersama mereka, aku menghabiskan malam dengan menikmati gorengan pisang dan sambil bercerita. 

Terakhir sebelum penutup pertemuan kami, mereka mempertanyakan siapakah "dia" yang selama ini sangat misterius bagi mereka. Aku menjawabnya tunggu aja sambil tersenyum. 

Bersama Adry, Tiar dan Ical (dok. pribadi)
Bersama Adry, Tiar dan Ical (dok. pribadi)
Selamat tinggal Kota Palu, selamat tinggal Luwuk, selamat tinggal Banggai Laut. Suatu ketika, pada hari hari yang tak bisa kutampik, undang aku untuk kembali mencumbu, memeluk, dan menyelami titik-titik keindahan bawah lautmu. 

Aaargh, andaikan saja yang mereka sebut sebagai "dia", suatu ketika sah sebagai seseorang yang tak disebut dengan tanda kutip dan misterius lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun