Mohon tunggu...
Arie Riandry
Arie Riandry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Studi Agama Agama
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Teks Komersil

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ingatan

12 Juli 2020   19:19 Diperbarui: 12 Juli 2020   19:07 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Rentang waktu pada janji mulai memutih. Coretan hitam tertera namamu telah dihapus paksa. Dan, di sebuah jeda tanpa sengaja, aku kembali menemukanmu. Tapi, bayangmu hanya hadir dalam ingatan.

Zaman pongah datang menggoda raga. Aku terdiam dalam sepi mendayu-rayu. Bayangmu terus saja menjelma penuhi isi kepala. Kupaksakan diri untuk mencari suasana baru, tapi bayangmu selalu ikut serta. Mungkin kenyamanan sudah lama mengakar dalam raga. Kesetian telah membudaya menjadi sumber inspirasi menuai asa. Dan, rasa ini masih saja terus menghembuskan angin teduh yang tak bisa kuusir pergi menjauh.

Merah putihmu masih saja berkibar. Petuah berlianmu masih setia diteruskan dalam perbuatan. Ajaran api perlawananmu selalu kupraktikan tanpa keluh. Dan, gagasan berduyunmu selalu berlomba-lomba untuk ditampung. Dan, jiwaku kembali meronta mengenang masa-masa yang telah lewat. Kurenungkan kembali semua yang telah terjadi.

Pundak yang biasa menjadi tempat kau meneruskan amanah, kini perlahan mulai rapuh. Raga yang biasanya menjadi tempat pulangmu, kini mulai tak lagi berdaya. Aku terhempas waktu tanpa ada pertolongan. Sepi sekarang lebih berpihak temani arah langkah. Dan, tubuhku menepi di tempat yang selalu kita kutuk, kamar. Aku sedang mencari kedamaian tanpa mau diganggu. Kuperdalam lagi ketenangan jiwa untuk menghapus gelisah.

Pohon rindang masih saja berdiri sebagai tempat sandaran untuk siapa saja yang datang berlabuh. Merah keberanianmu masih berkibar seantero jagat. Kutukan perlawananmu dengan lembut kian membeludak. Putih suci petuah ampuhmu selalu tertanam dalam-dalam. Dan, tetap mengajak diri untuk selalu bercumbu. Sayangnya, kakiku masih berat melangkah menemuimu di pulau rindu.

Kenyamanan yang kemarin adalah tercipta dengan hati. Kedamain yang bercahaya merupakan sebuah pengertian dari ragam raga berbeda. Kekompakan yang dirawat adalah bukti kita masih setara berdiri atas kesamaan nasib sepenanggungan. Dan, semua dengan ikhlas kita tabur setiap waktu. Semua dengan tabah kitab rawat, agar tak ada kata yang terlahir di kemudian hari; berpisah.

Kita sering kali menghabiskan waktu di jalan raya, ruang manipulatif, tepi pantai, taman rindu, dan segala tempat untuk saling berbagi cerita. Senyum tawamu selalu saja datang bertamu. Tapi, pintu hatiku sengaja kututup rapat-rapat, agar kau tak boleh masuk. Aku tak mau hadirmu hanya kembali menghadiahkan luka. Aku tak ingin tibamu menabur benih kecewa. Lebih baik, kita sengaja untuk menjadi pelupa demi mengusir masa gelap. Ketimbang kita bertahan dengan jargon janji dan sumpah, tapi semua penuh kepura-puraan.

Coroten namamu yang pernah jadi pusaka telah kuhapus. Gambar abadimu yang sering kali menjawab rindu sengaja kuturankan dari tembok sejarah. Aku tak mau ada kenangan di antara kita yang melahirkan bibit gelisah. Aku memilih menjadi pribadi yang merdeka tanpa menyusahkan orang lain, termasuk dirimu. Dan, sudah pasti aku tak ingin kita merajut tali janji kembali lagi. Segala pristiwa tetap kita rawat menjadi senjata untuk membentuk pribadi jadi penyabar. Tak pantas menyimpan dendam, walau maaf sering kali melayang dari bibir kita.

Kau adalah bayang-bayang nyata yang selalu berbisik lembut padaku "Jika tanganmu dan tanganku tak lagi bersimpul membentuk perlawanan, setidaknya kita punya cara sendiri untuk mengukir kisah. Kita perlu menyalakan lagi ritme juang yang saat ini mulai redup. Sebab, segala kebaikan yang kita torehkan adalah bentuk kepekaan manusia yang meneruskan api sejarah perjuangan pendahulu. 

Ritme kebenaran yang kita gaungkan adalah bukti kecintaan kita untuk membangun tanah lahir, bangsa dan negara. Walau aku tahu, cinta dan rasamu tak akan berlabuh ke hatiku lagi. Maaf, aku lancang berbagi kata-bahasa membangkitkan jiwa yang rapuh.!"

Kata-bahasamu kembali mengukir taman langit lajunya pikiranku. Makna yang tersirat dan tersurat dalam kalimatmu kembali mengingatkanku. Namun, aku pun tahu, kalau semua yang diutarakan merupakan jelmaan dari generasi yang disadarkan oleh keadaan. Rupanya, pikiranmu lebih maju dari harapan. Ketajamanmu lebih laju melawan kecengengan dari generasi yang dilabeli 'anak muda palsu.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun