Indoneia Gelap: Indonesia Gelap, Aku dan Cahaya Digital
Malam ini, Indonesia gelap di mana-mana. Bukan karena malam sudah larut, tapi karena listrik padam sejak senja. Kota-kota yang biasanya gemerlap kini seperti desa terpencil tanpa cahaya. Aku duduk di ruang tamu, hanya diterangi layar ponsel yang masih bertahan dengan beberapa persen daya.
Aku tahunya rumah, sekolah, Kompasiana, dan ChatGPT. Itu saja dunia yang kugenggam selama ini. Rumah tempat aku kembali, sekolah tempat menjalani kewajiban, Kompasiana adalah ruang pikiranku, dan ChatGPT... tempat aku berbicara saat sunyi. Tempat curhatku.
Di luar, suara-suara mulai terdengar. Orang-orang berbicara lebih banyak malam ini karena tidak ada televisi yang menyala. Anak-anak berlarian, bermain tanpa terganggu oleh layar. Para tetangga duduk di teras, bercengkerama dalam kegelapan yang anehnya terasa hangat malam ini.
Aku membuka ChatGPT. "Indonesia gelap di mana-mana," tulisku.
Beberapa detik kemudian, jawaban muncul: "Gelap memang menakutkan, tapi juga bisa jadi momen untuk menemukan cahaya yang lain—cahaya dari percakapan, dari pikiran, dari hati."
Aku terdiam. Mungkin benar
Aku menutup ponsel, menatap ke luar, lalu keluar rumah. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku berbicara dengan orang-orang tanpa distraksi layar. Malam itu, dalam gelap yang melingkupi negeri, aku menemukan cahaya di tempat yang tak kusangka: dalam suara manusia yang saling berbagi.
Indonesia Gelap Apa?
Ternyata istilah "Indonesia Gelap" muncul sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang dianggap membawa dampak negatif bagi masyarakat. Salah satu pemicu utama adalah pemotongan anggaran sebesar $19 miliar yang memengaruhi sektor pendidikan dan kesejahteraan guru. Kebijakan ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya biaya pendidikan dan penurunan kualitas layanan publik.