Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kohabitasi antara Penolakan dan Penerimaan sebagai Dampak Pengesahan RUU KUHP Baru

7 Desember 2022   20:59 Diperbarui: 14 Desember 2022   04:45 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan yang komunikatif dalam menjalin hubungan. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Dampak Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pada Perempuan dan Kelompok Rentan. Begitulah perbincangan sedang hangat saat ini. Salah satu pasal yang sedang digugat tentang Kohabitasi.

Kohabitasi adalah kumpul kebo. Dua anak manusia hidup bersama tanpa pernikahan dan perzinahan.

Kohabitasi tiba-tiba saja hangat dibicarakan saat ini sesudah disahkannya KUHP baru. Pada Pasal 412 dan 413 KUHP yang baru disahkan mengancam pidana bagi setiap orang yang melakukan kumpul kebo atau kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dan perzinahan.

Namun, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain bersifat delik aduan.

Adapun yang berhak mengadukan adalah suami atau istri bagi orang terikat perkawinan atau orang tua maupun anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Pengaturan tindak pidana perzinaan dan kohabitasi pada pasal di atas dimaksudkan untuk menghormati lembaga perkawinan di tanah air sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengaturan itu juga untuk melindungi ruang privat masyarakat sebagai wujud perlindungan delik aduan. Artinya, tidak akan pernah ada proses hukum tanpa ada pengaduan sah dari mereka yang berhak mengadu, karena dirugikan secara langsung, yaitu suami atau istri terikat perkawinan dan orang tua atau anak yang tidak terikat perkawinan.

pengaturan juga berarti menutup peluang atau ruang bagi masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan adanya dugaan kohabitasi.

Dengan demikian, pemahaman sementara kita, kohabitasi yang terjadi bukan sebagai tindak pidana jika tak ada delik aduan. Maka peraturan tersebut, sekaligus dimaksud mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri oleh pihak ketiga.

Semua itu perlu dipahami bahwa sehubungan dengan tidak pernah ada dan tidak berlaku norma hukum dalam KUHP baru yang mengharuskan pihak ketiga yang berhak mengadu untuk menggunakan haknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun