Mohon tunggu...
Baf Oemar
Baf Oemar Mohon Tunggu... Karyawan Kantor -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Kemacetan Jakarta dan "Car Pooling"

12 November 2017   23:35 Diperbarui: 13 November 2017   05:38 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasrat untuk memiliki mobil idaman sejatinya merupakan hak azazi setiap warga negara. Tidak seorangpun berwenang melarang seseorang untuk membeli dan mengendarai kendaraan bermotor roda empat. Mereka, kamu dan saya bebas dan merdeka secara pribadi untuk menentukan pilihan dan selera. Terserah berapapun jumlah mobil yang akan kita beli. Tidak peduli berapa harga dan pajak yang akan kamu bayar dari kendaraan tersebut. Yang terpenting, kamu masih memiliki uang, hasrat dan selera tentunya. 

Bicara mengenai selera dan trend kendaraan bermotor memang tidak pernah ada habisnya. Perkembangan teknologi di dunia otomotif seolah tak pernah berhenti. Jajaran produsen dengan merk dagangnya masing-masing, seakan tak pernah lelah berkompetisi. Mereka terus berlomba-lomba ber-inovasi tiada henti. Melahirkan dan menemukan teknologi-teknologi terkini di dunia otomotif. Mereka rela melakukan riset dan survey demi menciptakan inovasi yang relevan dengan trend hidup kekinian. Mereka merilis sebuah produk yang sesuai dengan pangsa pasar Indonesia. Semua itu menurut saya dilakukan dengan satu misi, "Mendongkrak angka penjualan".

Ketika mobil dengan segala tampilannya mulai memikat hati konsumen, maka disitulah menurut saya salah satu penyebab kemacetan berasal. Konsumen yang "haus" akan mobil anyar berteknologi canggih tidak akan mikir panjang. Dengan cekatan mereka akan mempersiapkan segala sesuatunya demi mendapatkan si mobil idaman. Mereka bahkan rela melepas kendaraan lama dan menjualnya dengan harga rendah, demi mendapatkan produk baru yang licin dan lebih gres. Mereka tidak pernah putus asa ketika uang di saku tidak mencukupi. Toh, deretan marketing pembiayaan sudah siap menanti dengan hitungan-hitungan yang pasti.

0144401ertiga-pabrik-cikarang780x390-5a0875d18325cc19bb4c9c82.jpg
0144401ertiga-pabrik-cikarang780x390-5a0875d18325cc19bb4c9c82.jpg
Pada awalnya, saya yakin dan percaya bahwa menjamurnya perusahaan-perusahaan pembiayaan (leasing) kendaraan bermotor membawa berkah tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.  Keberadaan leasing yang tersebar bahkan hingga pelosok desa dinilai sangat bermanfaat bagi masyarakat, terutama mereka kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang dulunya tidak sanggup membeli kendaraan secara tunai, maka dengan kehadiran leasing, mimpi mereka pun terwujud. Tidak peduli berapapun jumlah suku bunga yang ditawarkan, yang penting "aku bisa punya mobil, asoy geboy". Alhasil, kini untuk memiliki sebuah mobil bukanlah perkara sulit. Kita tinggal datang ke dealer atau showroom-showroom terdekat. Disana kita akan dilayani seperti raja. Raja yang nantinya tanpa disadari akan digiring ke dalam pusaran kemacetan.

Inilah fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia. Pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor memang sulit terbendung. Indonesia seperti menjadi primadona pasar otomotif dunia. Coba perhatikan. Hari ini keluar produk otomotif terbaru nan canggih, tapi besok lusa mungkin sudah dirilis produk tandingan. Hari ini keluar produk baru dengan konsep harga murah, tapi pekan depan di-launching produk tandingan yang jauh lebih murah. Lantas apa yang yang akan terjadi selanjutnya? Jawabannya sudah pasti. Kemacetan akan terjadi dimana-mana. Hari ini kendaraan kita mungkin masih bisa bergerak maju ke depan. Namun besok atau lusa, bisa jadi pedal gas kendaraan anda tidak akan berguna sama sekali.

Sebenarnya tidak sulit bagi saya untuk merasakan sensasi kemacetan berkendara di Jakarta. Saya tidak perlu repot-repot datang ke Jakarta. Saya juga tidak perlu susah-susah mengamati langsung selama berhari-hari keadaan lalu lintas disana. Lho kok bisa? Begini. Beberapa tahun terakhir, keadaan lalu lintas jalan di kota saya semakin memburuk. Jumlah kendaraan mobil terus bertambah setiap hari.  Apakah anda tahu dari mana mobil-mobil tersebut berasal? Yups, Jakarta. Tidak sulit bagi saya untuk membedakannya. Siapa sih yang tidak hafal dengan nomor polisi (nopol) daerah Jakarta? Mobil-mobil ber-nopol B tersebut, bisa jadi merupakan dampak langsung yang ditimbulkan ketika warga Jakarta tergiur dengan produk baru yang lebih gres.  

Untuk membuktikan hal tersebut, kamu tinggal datang ke Kota Jambi dan perhatikan nopol setiap mobil yang melintas. Saya jamin nopol-nopol tersebut tidak akan luput dari pandanganmu. Karena memang jarang ada mobil yang bisa melaju di atas kecepatan 40 km/jam. Imbasnya, kini hubungan warga Kota Jambi dengan kemacetan semakin erat dan harmonis. Keduanya sulit untuk dipisahkan terutama di jam-jam tertentu. Kala pagi di wilayah Jelutung misalnya. Sebenarnya tidak sulit bagimu untuk menghitung jumlah kendaraan yang melintas di wilayah tersebut. Kamu hanya cukup mencari tahu berapa jumlah siswa dan siswi SD hingga SMP yang bersekolah di wilayah ini. Jika anda tahu jumlahnya, maka dipastikan anda akan mendapatkan jumlah mobil yang melintas. Jika masih ragu, instruksikan kepada guru-guru mereka untuk menanyakan satu hal kepada murid sebelum pelajaran dimulai. "Anak-anak, pagi tadi diantar oleh siapa dan dengan apa?". Saya yakin tidak akan ada diantara mereka yang menjawab "Diantar ayah dengan sepeda bu".

Berada ditengah-tengah puluhan kendaraan yang terjebak macet, menurut saya terasa seperti permen nano-nano. Ada manis, asam bahkan asin. Coba bayangkan, bagaimana jika dalam satu mobil yang terjebak macet selama berjam-jam, ada seorang ibu hamil yang akan melahirkan? Apakah ibu itu harus melahirkan di dalam mobil? Lalu bagaimana pula jika seorang pengendara mobil yang terjebak macet berniat ingin buang hajat? Apakah mereka harus buang hajat di sembarang tempat? Bagaimana jika mereka mendadak sakit perut, sakit kepala dan sebagainya? Sulit dibayangkan bukan? Tapi inilah fakta yang terjadi. Masalah kemacetan memang sangat kompleks. Begitu banyak dampak yang dapat dan akan timbul dari fenomena ini. Sulit dibayangkan bagaimana jika hidupmu yang seharusnya bergerak maju ke depan, namun justru harus diam dan terhenti di satu titik.      

Jika menilik usaha pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah dalam mengantisipasi masalah kemacetan dirasa masih belum mengena dan tepat sasaran. Sebut saja seperti peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang pajak progresif. Penerapan pajak progresif adalah salah satu upaya pemerintah secara tidak langsung dalam mengurangi angka pertumbuhan mobil yang cukup fantastis di Indonesia. Tapi hingga saat ini pun, saya masih kerap melihat beberapa garasi masyarakat masih terisi 2 sampai 3 kendaraan roda empat. Kenapa demikian? Bisa jadi karena mobil masih dianggap sebagai tolak ukur sebuah prestise, kehormatan dan kebanggaan seseorang. Mobil dipandang bukan sebagai kebutuhan semata. Mobil bukan hanya sebuah benda yang melindungi manusia dari panas dan hujan. Tetapi justru lebih dari itu. Semakin banyak seseorang mengoleksi mobil, maka bisa jadi nilai prestise dan kehormatannya semakin meningkat pula. Dengan mobil, seseorang bisa jadi semakin dihormati dan dihargai. Bagaimana menurut anda?      

Upaya pemerintah dalam mengurai masalah kemacetan secara langsung juga patut diacungi jempol. Sebut saja seperti proyek-proyek pelebaran jalan yang kini sedang berlangsung di Kota Jambi. Masalah kemacetan mungkin saja bisa teratasi paska proyek ini rampung. Namun, tidak tertutup kemungkinan keadaan bahkan semakin parah, apabila eksodus besar-besaran kendaraan ber-nopol B ke Jambi masih terjadi. Karena selebar apapun jalanan dibuat dan dirancang, konon tidak akan mampu untuk menampung jumlah kendaraan yang masuk seperti simbiosis mutualisme. Percuma jika pajak kendaraan yang dipungut untuk membangun dan melebarkan jalan, tapi justru kendaraan tersebut ternyata akan terhenti sama sekali. Saya yakin, polisi-polisi lalu lintas tidak akan mampu mengatur jalannya lalu lintas jikalau eksodus mobil masih dan terus terjadi. Polisi lalu lintas diyakini akan berhenti meniup peluitnya, karena mobil-mobil baru dengan harga murah terus berdatangan dan semakin membanjiri jalanan, seperti video berikut di bawah ini:

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun