Mohon tunggu...
Ria Ayu Oktavia
Ria Ayu Oktavia Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist and Food Addicts

Halo nama saya Ayu (nggak pakai K)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tren BTS Meal, Menurut Pakar Psikologi Sosial UNTAG Surabaya

26 Juli 2021   09:25 Diperbarui: 26 Juli 2021   22:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal Juni lalu, salah satu restoran cepat saji meluncurkan hasil kolaborasi dengan salah satu Boyband Korea kenamaan, BTS, yang menjadi idola berjuta remaja di dunia, salah satunya Indonesia. Akibatnya, restoran cepat saji tersebut diserbu oleh ojek online yang mendapat pesanan dari fans Boyband ini hingga menimbulkan kerumunan di tengah pandemi.

Pakar Psikologi Sosial Untag Surabaya, Dr. RR. Amanda Pasca Rini, S.Psi, M.Si, Psikolog, menyebut adanya fenomena ini merupakan dampak dari fanatisme. Dijelaskan olehnya, fanatisme pada grup tertentu memang terkadang mengakibatkan tindakan yang tidak rasional.

"Ini merupakan fenomena menarik walaupun sebenarnya ini biasa terjadi karena merupakan bagian dari fanatisme," kata Amanda saat diwawancara melalui telepon. 

Para penggemar yang memiliki rasa senang yang berlebihan terhadap idolanya akan melakukan segala cara untuk bisa mendengar, berdekatan dan memiliki segala hal yang berkaitan dengan idolanya. Terlebih, produk makanan cepat saji kali ini berlabel limited edition Boyband dengan iming-iming saus khusus. Akibatnya, banyak yang melakukan pemesanan menggunakan aplikasi penyedia jasa ojek online dan mengakibatkan kerumunan ditengah naiknya kasus Covid-19.

Namun dalam hal ini, Amanda memandang pihak gerai makanan cepat saji-lah yang memiliki andil besar dalam menyebabkan kerumunan.

"Penyelenggaranya tidak bijak dan harusnya mempunyai cara cerdas. Mereka harusnya sudah tahu dan paham resikonya bahwa dengan menggandeng boyband BTS ini akan menarik minat penggemar fanatiknya untuk mendapatkan produk," terang Amanda. 

Menurut dosen Psikologi yang juga merupakan Ketua Program Studi Magister Psikologi itu, pembatasan pemesanan dirasa menjadi salah satu solusi yang bisa mengurangi membludaknya kerumunan.

Lebih lanjut Amanda menjelaskan, fenomena fanatisme yang makin marak kali ini juga merupakan salah satu dampak pandemi. Adanya pandemi yang mengakibatkan semua serba dilakukan secara daring, banyak dari Army, sebutan fans BTS yang mayoritas remaja kemudian mencari informasi melalui media sosial dan tidak banyak berinteraksi dengan orang sekitar. "Sementara sajian dari BTS ini semakin bervariasi, gimana tidak makin fanatik. Disini perlu pendampingan dari orang tua untuk mendampingi dan mengontrol. Kita ajak bicara, kita kasih pemahaman," papar Amanda.

Fanatisme memang merupakan salah satu perilaku abnormal, berlebihan secara psikologis dan akan berdampak pada perilaku seseorang. Namun Amanda menegaskan, seorang dengan fanatisme bukan berarti memiliki pribadi yang negatif. Hal ini terlihat dari adanya fenomena pemberian donasi Army kepada para ojol sebagai wujud penghargaan atas perjuangan ojol mendapatkan hingga mengantarkan paket pesanannya.

"Fanatik tapi bukan berarti punya pribadi yang negatif dalam segala hal tapi mereka juga punya hati nurani dan sisi baiknya," tutup Amanda.

Sumber : Humas Untag Surabaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun