Mohon tunggu...
RIA ANISA
RIA ANISA Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Penulis kaku dan lugu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Minggu Pagi: Elegi Seorang Nenek

27 Januari 2023   20:53 Diperbarui: 27 Januari 2023   21:12 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja menyapa kota Yogyakarta dengan sinar hangatnya. Desiran angin dan rintik-rintik hujan tak menghalangi orang-orang berduyun- duyung menju tempat kerja. Diantara jutaan manusia, tak sedikit pula yang hanya berdiam diri terpaku dalam rumah. 

Orang-orang diusia senja bersembunyi dibalik dinding rumah-rumah mereka, melepas anak cucunya bepergian beraktivitas diluar sana. Ruminah tahun ini genap berusia tujuh puluh tiga tahun. Usia yang tak lagi muda, sepuluh tahun sudah ia menjanda. Kini, ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya. Sudah garis hidupnya, bukan karena tak bisa memilih, keputusan tinggal dirumah itu karena kehendak anaknya yang ingin beribadah dan mengabdi kepadanya sesuai ajaran Islam.

Generasi sandwich, nama baru bagi sebuah rumah tangga yang berisi struktur keluarga lebih dari satu generasi. Bertujuan baik tentunya, karena anak laki-laki takan pernah lepas tanggung jawabanya kepada orang tuanya. Generasi sandwich yang penuh dialektika. Perbedaan sering mengiringi hari-hari Mbah Rumi, biasa dia dipanggil. Komunikasi yang hangat dirumah Khariri, anaknya, tidak pernah membuatnya berkeinginan keluar dan menjauh. 

Anak perempuan Khariri, Dzifa telah melanjutkan jenjang Pendidikan ke perguruan tinggi sejak pertengah tahun lalu di universitas bergengsi di Yogyakarta. Rumi selalu ingat bagaimana momen saat Dzifa masih bocah, anak aktif dan santun. Sering Rumi menceritakan masa-masa itu, namun Dzifa agaknya sulit menerima kisah itu. "masak iya granny?" Dzifa selalu menanyakan bukti berupa foto atau video, dengan tawa, Rumi mengatakan bahwa kala itu tidak sempat mendokumentasikanya.

Sejujurnya, Rumi tak begitu nyaman dipanggil granny oleh cucunya, namun Rumi berpikir apalah arti sapaan, yang terpenting adalah kehangatan komunikasi. Hari-hari Dzifa banyak dihabiskan di dalam rumah, keluar rumah sekedarnya saat itu ingin hang out Bersama keluarga atau teman sebayanya. Rutinitas yang dipilih Dzifa membesitkan rasa kecewa Rumi. "Dzifa kamu patut bangga hidup di zaman sekarang" "memangnya kenapa granny? Sama saja, toh kan tetap hidup sama-sama jadi perempuan". 

Rumi dengan antusias menceritakan bagaimana kisahnya sejak era 1950-an. Detail diceritakan, gambaran kehidupan sosial kala Rumi masih usia remaja hingga era reformasi. Rumi mengisahkan kisah suksesnya berjuang mengenyam pendidikan dan mendapat pekerjaan pegawai negeri sipil di Instansi Daerah Yogyakarta. Tak lupa ia selipkan kisah kegagalanya masuk ke dunia politik. Dahulu, belum ada larangan pegawai negeri untuk berpolitik, tetapi larangan itu datang dari kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya. 

Perempuan sudah boleh bekerja ditempat umum, namun belum semua pekerjaan ramah dan menyambut baik kehadiaran perempuan. Bekerja yes, politik no. Pernah mencoba nekat berpolitik, namun malah menjadi bumerang baginya. Streotip terhadap dunia politik yang kejam itu membuat Rumi patuh terhadap larangan itu. Tak mudah tentu hidup dengan cara melawan arus. Terpaksa Rumi fokus pada dunia kerja kantoran dan kehidupan keluarganya, hal yang sebenarnya tak cukup mengekspresikan diri seorang Rumi yang memiliki besar hasrat dalam politik.

Tak luput, Rumi menceritakan kisah pahit ibunya, buyut Dzifa. Perjuangan perempuan pada saat pra kemerdekaan untuk  mengenyam Pendidikan. Selain faktor keterbatasan biaya, kakek Rumi lebih mengutamakan Pendidikan paman Rumi. Tak mudah kala itu meyakinkan bahwa anak perempuan juga butuh Pendidikan. Cerita Rumi itu tak membuat Dzifa bergeming. "Granny, sekarang sudah zaman modern. Siapa saja boleh sekolah, cari kerja apapun, berpolitik juga bebas. Dzifa tinggal selesaikan kuliah, lalu bisa kerja apa saja yang dimau. Gak perlu repot lagi?" ujar Dzifa yakin sambil beranjak dari ruang tamu.

Sembari menatap layar televisi menyaksikan kumbang berebut sari bunga, Rumi merenung pilu. Generasi perempuan masa kini, sebagian  melupakan sejarah perjuangan pergerakan kesetaraan. Kalau saja kesetaraan sudah sejak dahulu, mungkin takkan ada karya "Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

 "Bagaimana jika mereka tak ada yang mau tau sejarah itu". Apa yang dahulu dianggap sebuah harapan berharga kini jadi hal lumrah yang tak bisa jadi sebuah privilege. Rumi ingin menegaskan rasa bangga capaian perempuan generasi kini, namun tak cukup ilmu dia menggambarkan runtutan sejarah itu. Keistimewaan yang dahulu para perempuan idamkan kini sebuah kelaziman. Rumi takut jikapun ingin ia berkoar-koar mengenai hal itu, hanya akan dianggap hal usang.

referensi : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, 13 November 2022. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun