Pada sore menjelang maghrib, di beranda rumah, ibu sedang membersihkan dedaunan yang jatuh dari pohonnya. Setiap sore, ibu selalu membersihkan dedaunan itu. Jika tidak, "Badan ibu akan kaku dan sakit-sakitan semua," katanya.
Bergerak memang membuat kita semakin sehat, banyak orang tua yang pernah kutanyai atau bahkan kenal dekat, mereka bercerita kepadaku bahwa jika dirinya tak bergerak, entah pergi ke ladang, memasak, atau membersihkan rumah maka badannya menjadi terasa tidak enak.
Usai menyapu halaman depan, ibu beristirahat di kursi depan rumah. Di sana, saya turut serta duduk di samping ibu, kami bercerita banyak hal. Mulai dari bandit-bandit berdasi yang merampok uang negara, kondisi politik negeri yang agaknya semakin kacau, hingga yang paling mendalam; pernikahan.
Kala itu, entah bagaimana juntrungannya, ibu berkisah bahwa dirinya sekali waktu pernah dijodohkan dengan pria yang belum pernah dikenalinya, tetangga desa, tapi ibu menolak dengan halus bahwa dirinya memang belum siap untuk menerima pinangan pria itu.
Ada beberapa faktor, namun ibu tidak menjelaskannya secara detail, tapi intinya ibu tidak berkenan dengan pria itu, selain itu pria itu tidak memiliki masa depan yang jelas, atau pemahaman agama yang terlalu ekstrem; memandang umat Islam yang di luar Ormasnya adalah kafir! Membolehkan berbohong demi Ormasnya, dan segala hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
"Cara berpakaian dia memang Islami, tapi ibu tidak percaya begitu saja, jadi ibu mencoba untuk mencari tahu sendiri, mulai dari bertanya kepada kerabat sampai kawan sekatnya, dan ibu sampai pada kesimpulan bahwa dia memang kurang pantas untuk membersamai ibu," katanya.
Saya mendengarnya dengan saksama, mengganguk perlahan.
"Jadi, apa kamu sudah punya pasangan sekarang?" tanyanya.
"Untuk saat ini, belum, atau tidak ada, bun,"
"Kenapa? Bukannya kamu dulu pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan walau dia sudah menikah beberapa tahun lalu? Apa yo memang belum bisa berpindah ke lain hati ini?"