Sejak dilantik pada Oktober 2019, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf langsung tancap gas dalam memacu roda perekonomian nasional. Terobosan barunya yakni membuat konsep perundang-undangan bernama omnibus law guna memperbaiki iklim usaha dan investasi di Indonesia. Omnibus law yang disiapkan diantaranya rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja, yang kini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam  RUU Cipta Kerja, terdapat 79 UU yang digabung dengan 1.244 Pasal yang direvisi. Isinya mencakup 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, serta kawasan ekonomi.
Salah satu sektor usaha yang menjadi prioritas pada RUU ini yaitu sektor kelautan dan perikanan. Setidaknya ada 76 Pasal yang direvisi dari empat UU di sektor kelautan dan perikanan. UU yang dimaksud yakni UU No. 31/2004 tentang Perikanan sebagaimana diperbaharui dengan UU No. 45/2009; UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) sebagaimana diperbaharui dengan UU No. 1/2014; UU No. 32/2014 tentang Kelautan; serta UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Â
Perubahan yang diatur di sektor kelautan dan perikanan dalam RUU ini antara lain. Pertama, soal definisi nelayan kecil, tidak lagi menyertakan ukuran kapal seperti pada UU No. 45/2009 yang menggunakan ukuran kapal dibawah 5 gross ton (GT) dan UU No. 7/2016 ukuran kapal dibawah 10 GT.Â
Kedua, soal kewenangan pengaturan dalam hal perizinan berusaha, penetapan standar mutu hasil perikanan, persyaratan administrasi dan kelayakan teknis kapal perikanan, perubahan status zona inti kawasan konservasi nasional, sanksi administratif, serta impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, tidak lagi ditangani langsung oleh Menteri, namun dialihkan kepada Pemerintah Pusat melalui Peraturan Pemerintah. Â
Ketiga, soal perizinan usaha perikanan, jika sebelumnya terdapat tiga izin yakni Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), kini disimplifikasi menjadi satu izin saja, yaitu izin berusaha dari Pemerintah Pusat.Â
Keempat, soal pengaturan perencanaan WP3K, bisa dilakukan peninjauan kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun apabila terjadi bencana alam, perubahan batas wilayah, dan perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Selanjutnya, adanya kebijakan nasional yang bersifat strategis juga dapat menjadi dasar pemberian izin oleh pemerintah pusat, meski belum atau tidak ada dalam rencana zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah.Â
Dan Kelima, soal ketentuan sanksi dalam hal penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi persyaratan, serta pengoperasian kapal perikanan yang tidak membawa dokumen perizinan, tidak lagi menyertakan sanksi denda dan pidana, namun hanya berupa sanksi administrasi.
Sejumlah perubahan diatas ironisnya justru menuai kontroversi di kalangan masyarakat. RUU Cipta Kerja dianggap hanya melindungi kepentingan pelaku usaha dan investor untuk mengeruk sumber daya kelautan dan perikanan. Terlebih lagi, dalam penyusunannya tidak melibatkan masyarakat pesisir yang akan terdampak, seperti nelayan tradisional, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat.
Sebagai contoh, dihapusnya batasan ukuran kapal pada nelayan kecil, berpotensi mengklasifikasikan nelayan besar seperti nelayan kecil yang tak perlu izin ataupun sebaliknya nelayan kecil seperti nelayan besar yang perlu izin. Kemudian, soal perizinan yang hanya diberikan Pemerintah Pusat, akan menyulitkan masyarakat kecil dalam pengurusan serta semakin menjauhkan rentang pengawasan aktivitas usaha.Â
Otoritas penuh perizinan pada Pemerintah Pusat juga semakin memudahkan Pemerintah Pusat menjalankan kebijakan dan programnya di daerah. Lain lagi, soal penghapusan sanksi denda dan pidana, tentunya akan mengurangi efek jera bagi pelaku pelanggaran.