Mohon tunggu...
Reza Soedomo
Reza Soedomo Mohon Tunggu... -

Managing Partner & CEO @ Kinerja - BlessingWhite

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Glory of Love

4 Oktober 2015   18:03 Diperbarui: 4 Oktober 2015   18:32 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A NOTE FROM A FRIEND

 

Saya termasuk seorang penggemar film yang hampir tidak pernah melewatkan kesempatan nonton setiap film baru yang diputar di bioskop. Saking hobby, seringkali saya menonton film tertentu saat masih midnight. Jenis film yang paling saya minati adalah film sejarah dan film yang diangkat dari kisah nyata (true story).

 Mungkin karena faktor U, saking banyak film yang telah saya tonton, banyak yang saya sudah lupa judulnya. Padahal semua film yang saya tonton pasti bagus dan berkesan, apalagi kalau nontonnya dengan orang yang berkesan pula hahaha.

 Sayapun beberapa kali menonton hingga 2 kali untuk film yang saya nilai sangat bagus. Salah satunya adalah film sejarah yang dibintangi oleh aktris Malaysia, Michelle Yeoh. Judulnya Aung San Suu Kyi yang mengangkat kisah nyata tentang perjuangannya dalam menegakkan keadilan, demokrasi, dan HAM di negaranya yaitu Myanmar (dahulu Burma).Saat itu saya sangat mengagumi Aung San Suu Kyi yang bersama keluarga dan pengikutnya gigih berjuang walaupun mereka harus mengalami penderitaan hebat karena mendapatkan perlakuan sangat tidak manusiawi dari penguasa Myanmar.

 Namun bila sekarang saya ditanya apakah mau menonton film itu untuk ke 2 kali, maka saya mantap untuk menjawab “tidak”. Mengapa ? Dengan berjalannya waktu, kekaguman saya yang sangat tinggi kepada Aung San Suu Kyi meluntur karena saya sempat kecewa dengan sikap diam yang beliau tampilkan. Padahal ia melihat dan mengetahui keadaan suku Rohingya (salah satu golongan penduduk minoritas di Myanmar) yang mendapatkan diskriminasi dan perlakuan yang tidak sepatutnya dari penguasa militer dan sebagian suku mayoritas di Myanmar.

 Dalam hidup ini kita sering dikecewakan oleh orang yang kita idolakan, kagumi, bahkan kita teladani sebagai tokoh panutan (role model). Kita kecewa saat menjumpai kenyataan bahwa perilaku idola kita ternyata menyimpang dari yang kita bayangkan dan harapkan.Banyak yang mengidolakan pasangannya, bos di tempat kerja, orang tua, anak, kemudian semua berujung pada kekecewaan bahkan sakit hati saat mereka diberi kenyataan perilaku sang idola yang tidak sesuai harapan.

 Ketika mulai menginjak akil balik dan di kamarku penuh dengan poster band favorit top markotop kelas dunia seperti Beatles, Deep Purple, Rolling Stone, Bee Gees, ayahku berbisik: “ My boy, jangan pernah mengidolakan siapapun karena kamu akan kecewa bila mereka tidak sebaik persangkaanmu”. Sebagai ABG saat itu saya menganggap ayah saya lebay dan sotoy dengan nasihatnya yang sok bijak.

Apalagi saat di suatu malam Jumat, guru ngaji yang didatangkan oleh orang tuaku memberikan tauziah : “ Sebaik-baik idola adalah nabi yang diutus Tuhan karena mereka sudah pasti dijamin sebagai manusia mulia, walaupun tidak sempurna”. Keesokan pagi di sekolah, nasihat itu saya jadikan bahan olok-olok bersama teman-teman sesama ABG. Namun apa yang mereka sampaikan seringkali terbukti benar, jadi siapa yang lebay dan sotoy ? Ya saya.

 Tentulah tidak semua orang yang kita idolakan lalu serta merta mengecewakan kita. Seperti banyak orang, sayapun memiliki pengalaman seumur hidup (life time experience) dengan seseorang yang sangat saya idolakan, hormati, dan kagumi.Hingga detik ini semua kekaguman itu tidak pernah luntur, walaupun harus diakui bahwa sepanjang perjalanan hidup berkali-kali ia menyakiti saya dengan kata-kata pedas yang menusuk perasaan, sikap keras tidak bersahabat, bahkan sesekali dengan kekerasan fisik.  Respek kepadanya tidak pernah berubah karena ia telah berhasil meyakinkan saya bahwa semua yang dilakukan adalah for the Glory of Love.....(seperti kata Peter Cetera ya?).

 Di usia saya ke 55+ hari ini, ibu saya (84 tahun) sangat konsisten dalam memperlihatkan Glory of Love itu,    sehingga pancaran kasih 55 tahun yang lalu saat masih dalam buaiannya masih dapat saya rasakan sampai sekarang dengan kualitas yang tidak pernah berubah. Sejak ayah saya wafat di tahun 2002, saya tinggal bersama ibu saya (tepatnya saya dan keluarga yang nebeng hidup di rumahnya). Setiap pagi, ia selalu bangun lebih dulu daripada saya, padahal sayalah yang harus berangkat kerja pagi-pagi. Dialah yang menyiapkan hidangan pagi untuk saya dan keluarga, dan dia masih melakukannya hingga hari ini walaupun fisiknya sudah jauh menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun