Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tentang Rumah Sepak Bola Bernama Solo

14 Januari 2022   07:20 Diperbarui: 14 Januari 2022   07:23 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inspeksi Stadion Manahan jelang pembukaan Liga 1 2021 (dok: PSSI)

Juaranya Persis Solo di Liga 2 tentu membuat publik Solo Raya gegap gempita dalam menyambut kembalinya Laskar Sambernyawa ke level tertinggi. Klub tua yang juga termasuk pendiri PSSI ini telah lama hanya menjadi penghuni semenjana level bawah piramida sepak bola Indonesia. Padahal fanatisme fans Persis menjadi salah-satu yang terkuat di Indonesia.

Tapi meskipun Persis sendiri jarang tergabung di level tertinggi, nadi sepak bola di Kota Solo tak pernah berhenti. Sejak dulu banyak tim datang dan pergi di Solo, mereka selalu menyambut ramah siapapun itu. Persis laksana tuan rumah yang tak keberatan berbagi kandang dengan tim-tim itu, meski bayarannya kepopuleran Persis agak terkikis.

Sebelum kemarin menyegel juara Liga 2, terakhir kali Persis menangangkat trofi ada di Divisi II musim 1994. Bahkan kalau di level tertinggi tim tua ini terakhir berjaya di ajang Perserikatan 1943, ketika Indonesia masih diduduki oleh tentara Jepang. Selama itu pula Solo jadi rumah berbagai klub berbagi kue dengan Persis.

Tentu nama Arseto berkelindan jadi kesebelasan terkenal lainnya yang memutuskan Solo jadi rumahnya. Arseto diboyong oleh putra presiden Soeharto, Sigid Herdjojudanto dari Stadion Utama Senayan ke Solo menyusul tuntasnya renovasi Sriwedari. Menyulap bangunan bekas RS di Kadipolo, Arseto memaku dirinya jadi tim yang disegani di kancah Galatama.

Pernah diperkuat pemain bernama besar macam Nasrul Koto, Eduard Tjong, dan Rochi Putiray cukup membuat Arseto menyabet juara Galatama 1992 dan kompetisi klub Asean 1993. Sayang kondisi turbulensi politik di 1998 memaksa klub milik keluarga Cendana ini disuntik mati sebelum musim 1998 diputar. Kerusuhan laga lawan Pelita Jaya menutup perjalanan tim biru langit ini.

Solo kemudian punya tetenger sepak bola baru dengan berdirinya Stadion Manahan yang segera jadi primadona sampai sekarang. Datanglah klub kepunyaan keluarga konglomerat Bakrie, Pelita Jaya di awal milenium baru. 

Nama pun dipugar jadi Pelita Solo agar lebih dekat dengan para pendukungnya. Sebenarnya Pasoepati yang sekarang jadi garda fanatik Persis Solo terbentuk untuk mendukung Pelita Solo yang baru datang.

Bekas mess Arseto di Kadipolo (Sri Nugroho/Skor.id)
Bekas mess Arseto di Kadipolo (Sri Nugroho/Skor.id)

Pelita memang sebelum menetapkan berkandang di Solo sudah punya sejarah mentereng. Mereka pernah diperkuat Roger Milla dan Mario Kempes di masa senjanya dan mereka memboyong pemain-pemain berkualitas ke Solo. Masih diperkuat Seto Nurdiantoro, Bako Salissou, hingga bek tanggu Aples Tecuari. 

Sayangnya jodoh Solo dan Pelita berakhir di tahun 2002 menyusul pindahnya Pelita ke Banten dan bertransformasi jadi Pelita KS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun