Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Ketua RT Saya Dipilih oleh Tuhan

15 Oktober 2021   12:59 Diperbarui: 15 Oktober 2021   13:27 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dipilih (sumber: gki-karawaci.org)

Sebagai insan yang sejak lahir dan dibesarkan di pedesaan, jabatan Pak RT ini sedikit banyak sangat erat dengan warga yang diayominya. Meski sudah ada landasan formalnya di Permendagri, jabatan Pak RT ini seringkali menyesuaikan diri pada kearifan lokal para warganya. 

Berbeda dengan kelurahan yang lebih 'rapi' secara birokrasi dan secara jelas lurahnya adalah bawahan Camat, desa jelas sangat kental demokrasinya.

Saya pernah menemui pemilihan Pak RT paling aneh selama hidup di desa pelosok Pulau Jawa ini. Meski sudah terjadi jauh diatas sepuluh tahun yang lalu, namun saya rasa kisah unik ini patut ditulis sebagai khazanah Pak RT di Indonesia.

Bermula ketika Pak RT sebelumnya yang sudah sepuh berencana tak memperpanjang masa khidmatnya. Beliau adalah long-life RT yang bahkan sudah menjabat sejak tahun 1990an selagi merangkap jabatan menjadi Mantri Pengairan Desa. Jelas warga RT harus segera menemukan pengganti Pak RT sepuh yang ingin menikmati masa pensiunnya ini.

Ada hal yang agak berbeda disini saya temui ketika pernah tinggal di perkotaan megapolitan Jakarta untuk kuliah dulu. Entah kenapa dan sampai sekarang Pak RT di desa lebih dihormati dan dekat dengan warganya, sedangkan di perkotaan khususnya di lingkungan perumahan agaknya Pak RW lah yang pegang kendali dan Pak RT hanya sebagai bayang-bayang.

Kembali ke peliknya lingkungan saya kala itu mencari Pak RT baru. Tak seperti jabatan Pak Kades yang 'ada uangnya', di level RT ini bisa dibilang kala itu kering tandus tidak ada dananya. 

Kalau pun ada mungkin hanya lungsuran dari dana operasional desa. Jelas menjadi Pak RT lebih banyak merepotkannya. Praktis kala itu tak ada satu pun warga yang bersedia bahkan untuk setor nama sekadar mencalonkan diri.

Akhirnya berdasarkan musyawarah mufakat yang berlandaskan butir-butir pengamalan Pancasila, dibuatlah sebuah keputusan unik. 

Forum antar tetangga akhirnya menyepakati untuk menulis tiap nama-nama yang dirasa pantas dan juga dirasa tak punya kesibukan tingkat tinggi di pekerjaan utamanya dan kemudian dimasukkan ke stoples untuk dikocok. Ya benar, dikocok persis seperti mekanisme ibu-ibu dalam arisan.

Sungguh suatu mekanisme unik nan absurd yang sepenuhnya bertawakkal pada takdir dari Yang Maha Kuasa. Setelah satu nama keluar dari lubang takdir itu, mau tak mau sesuai dengan mufakat dan kesediaan para nama sebelum namanya dimasukkan ke stoples ia harus rela dirinya sebagai Pak RT baru. 

Bagi saya yang masih kanak-kanak kala itu menganggap mekanisme ini tak ubahnya dagelan dan hasil dari keukeuhnya para warga tidak mau mencalonkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun