Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia yang Dilahap Temaram

1 Juni 2021   20:10 Diperbarui: 1 Juni 2021   20:27 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
San Giorgio Maggiore at Dusk, Oscar-Claude Monet 1912

Kudekap badannya. Badan yang dulu selalu menawarkan kehangatannya bagi diriku, yang menyamaikan rasa memilik di dadaku. Aku menangis sejadi-jadinya.

"Kau kemana saja sampai saat ini?". Dengan suara parau sambil sesegukan karena menangis

"Aku terus kesini setelah menyelesaikan urusanku nun jau disana". hanya itu jawabnya. Aku teru menangis dan dia terus mengelus-elus kepalaku. aku terus memeluknya erat tanda tak mau lagi berpisah. Kuliat wajahnya. Dia juga menangis sepertiku. Kami sama-sama menemukan hal yang dari dulu hilang dari masing-masing kami.

Kami tak membuang waktu. Kami langsung menuju rimbunan taman kota. Memadu apa yang selama ini hilang dari masing-masing kami. Kudekap dia tak lepas eratnya. Dia melepas semua keduniaan dan atribut manusia dari dirinya. Aku pun ikut menghilangkan jejak dunia manusia dari diriku. Kusambar dirinya duluan dan dia pun menyambarku, melumatku. Kami saling tindih, saling berbagi nafas dan berbagi badan. Tubuh ini punyamu dan tubuhmu pun punyaku. Tak ada yang mampu memisahkan kita lagi. Kau adalah keluargaku, meski aku tak pernah tau apa itu keluarga bagiku.

Setelah pergulatan panjang itu kami hanya memandangi langit malam. Menengok gugusan orion yang berjajar bersabuk tiga. Regulus yang terang menggerling pada kami. Dua makhluk yang habis memadu kasih mencapai kehangatan yang selama ini hilang dari masing-masing kami.

"Terima kasih". Bilangku padanya

"Untuk apa?".

"Untuk kembalimu". aku pun terlelap tertidur dalam dekapannya. Ah tidak, kami saling mendekap di atas hamparan rumput dan dinaungi gagahnya Pterocarpus indicus yang bedarah layaknya naga yang terluka.

Pagi menyingsing dan aku membuka mata karena tak sanggup menahan serangan pagi hari. Aku kembali linglung. Dia tak lagi dalam dekapanku. Dia suda tak ada lagi di sampingku. Dia kembali menghilang. Dia kemana?

Aku menangis sejadi-jadinya. Orang-orang yang lewat Cuma melongok dengan mata memicing heran. Mungkin aku dikira orang gila, mau gimana lagi. Aku tak berpakaian, layaknya umat manusia yng terhormat. Aku seperti adam dan hawa yang kemaluannya tersingkap setelah memakan buah larangan di paradis. Aku terus menangis

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun