Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia yang Dilahap Temaram

1 Juni 2021   20:10 Diperbarui: 1 Juni 2021   20:27 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
San Giorgio Maggiore at Dusk, Oscar-Claude Monet 1912

**

            Tanpa kusdari percakapan di sore hari yang biasa itu berdampak luar biasa. Sekarang meski aku tiap sore datang dengan rutin dan duduk manis di bangku taman yang menghadap barat, dia tak pernah kembali. Tak pernah sekali-kali pun dia kembali. Oh, dia kembali membuatku hanya termenung di bangku taman ini, hanya menunggu sampai senja menemui ajal dan diriku diusir segerombolan nyamuk betina yang tanpa belas kasih.

            Aku mulai linglung. Aku sebelumnya yang tak pernah punya perasaan rasa memiliki seseorang menjadi hampa. Batinku menjerit perlu akan suapan kasih sayang kehangatan yang selalu dia tawarkan. Oh, Tuhan kenapa jika memang rasa kehilangan itu sakit, janganlah hamba dahulu diberi manisnya rasa memiliki. hanya itu jeritku pada Tuhan yang melangit.

            Semakin hari aku semakin linglung mencari kehangatan yang pernah ia tabalkan. Sekarang setelah aku terusir dari bangku taman itu, aku menggelandang ke kolong metropolitan. Mencari segala sesuatu yang bisa memberiku sedikit kehangatan meski itu amoral maupun nirfaedah. Terkadang aku dapatkan dari begudal pasar tradisional di utara kota. Terkadang kujaring dari lambaian jalan mawar yang sudah mashyur sesantereo negeri marchapada sebagai red light district-nya kotaku. Terkadang juga aku mengunjungi pelabuhan di dermaga tanjung yang berada di kota sebelah. Semua itu hanya kulakukan demi suapan-suapan kehangatan untuk meninabobokkan tangisan hatiku.

            Petualangku di malam hari semakin membuatku kelam sekelam malam saat ditinggal sang chandra ditelan aditya. Berjoget di gemerlapnya dunia malam, menikmati remang-remang warung remang di pinggiran bentangn sawah, minuman keras semua jenis pun pernah aku tenggka semua. Aku tak sadar bahwa semua usahaku tidak membuat batinku semakin tenang dan melupakan ketidakadirannya. Malah aku semakin putus asa dalam mengejar hangatnya kasih sayang dalam dinginnya malam ketika belum berganti fajar.

            Rutinitasku duduk di bangku taman kota yang menghadap barat pun mulai sering kutinggalkan. Sekarang aku lebih sering sering bangun ketika mentari tak lagi mengangkangi bumi. Ya, memang ketika fajar menyingsing aku baru memejamkan pelupuk mataku. Malam dan siang,pagi dan sore hanyalah sebutan orang lain saja pada fase-fase hari. Bagiku tak ada bedanya. Hanya detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Tapi, hingga hari berganti bulan pun, kau masih belum pernah menampakkan dirimu lagi di depan mataku yang sudah lelah menangis hingga sembab semenjak kau menghilang dan sirna.

**

            Mataku memicing tersinari oleh sorot jauh matahari yang mulai melambai tanda akan ditenggelamkan ufuk di ujung horizon. Sialku hari ini tidur dengan wajah menghadap pintu terbuka yang menyongsong arah barat. Terpaksa aku bangun 'sepagi' ini. Kepala masih berat sebab kemarin malam aku menenggak dua botol anggur putih pemberian di Anto, temanku dari dunia malam yang anak dewan tapi kurang kasih sayang. Kabarnya ia memakai pengaruh bapaknya supaya bar favoritnya tak ditutup meski terjerat kasus peredaran narkotika.

"Hmm, mungkin seluruh orang yang penghuni dunia malam punya masalah serupa diriku". Hanya pikirku dalam lamun. Aku berdiri sambil berpakaian. Anto, Dyana, Laras masih kelelahan akibat gangbang semalam. Tiba-tiba terbersit di benakku untuk kembali ke rutinitasku yang lama kutinggalkan. Duduk termenung di bangku taman kota yang menghadap barat sambil menikmati senja.

Berjalanlah aku dengan gontai. Menuju taman kota, batinku masih mlangitkan doa kepada Tuhan. Semoga aku kembali bertemu dengannya disana, di tempat kami awal bertemu dulu. Sampai sekarang pun batinku tak pernah berhenti berdoa pada-Mu mengenai ini. Sesampainya disana, mentari sudah tinggal menanti ajal untuk ditenggelamkan di ujung horizon. Ah, mungkin hari ini ia tak datang kembali.

Tapi, eh tapi. Dibawah ufuk merah kulihat badan yang dulu pernah aku kenali meski namanya tak aku kenali. Itu kah dia?. Ah tak mungkin. Kepalaku berkecamuk. Aku berdiri dan memicingkan mata. Itu dia. Aku pun berlari. tangis pun pecah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun