Mohon tunggu...
Reza Muhammad Nashir
Reza Muhammad Nashir Mohon Tunggu... -

S1 Program Studi Ilmu Pemerintahan 2015 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Ramadan, Idul Fitri; "Ilaihi Roji'un"

23 Juni 2017   22:03 Diperbarui: 23 Juni 2017   22:09 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat memaknai Idul Fitri merupakan “Hari Kemenangan” setelah melakukan ritual ibadah puasa ramadhan selama kurang lebih satu bulan. Perlu di pahami bahwa idul fitri adalah “kembali ke fitrah”, fitrah dalam artian telah suci dari berbagai dosa setelah melaksanakan puasa ramadhan yang penuh dengan berkah. Inilah salah satu kebahagiaan umat muslim ketika merayakan hari kemengan itu. Jika mayoritas masyarakat Indonesia memaknai idul fitri adalah hari kemengan, kemengan apa yang telah diraih? Dan bagaimana masyarakat menghayati puasa-nya selama satu bulan?

“Menang” dalam artian dapat menahan makan, minum dan mengendalikan nafsu selama satu bulan, itulah hal yang simple dimaknai. Selama satu bulan lamanya umat muslim dituntut untuk mengatakan dan melaksanakan “tidak” atas apa yang disenangi meski itu berupa hal yang halal. Jika hal yang halal (makan, minum dan berhubungan suami istri) tidak boleh, bagaimana dengan yang haram?

Kata Cak Nun, “Tuhan-pun juga berpuasa akan kemurkaan-Nya kepada manusia”. Berpuasa melatih manusia untuk bisa mengatakan “tidak” atas apa yang disenangi. Siang hari dengan terik matahari, mungkin minum es teh dapat melegakan keringnya tenggorokan. Pagi hari mungkin dapat dinikmati dengan makan nasi pecel ditemani kopi. Tapi selama bulan ramadhan itulah, manusia dilatih untuk mengatakan “tidak” atas kesenangan itu.

Puasa itu lah yang juga memberikan gambaran betapa susahnya orang yang memiliki kadar hidup rendah. Dengan puasa terbentuk tatanan masyarakat yang sama antara orang kaya dengan orang miskin, mereka sama-sama merasakan haus dan lapar dalam seharian. Zakat merupakan salah satu instrumen ibadah yang juga tak bisa dipungkiri akan makna yang terkandung di dalamnya. Wajib bagi setiap muslim untuk memberikan zakat kepada golongan yang berhak menerima zakat. Seandainya zakat benar-benar dilakukan oleh umat muslim dengan mengedepankan akhlaq, mungkin dapat sedikit mengurangi rasa kelaparan orang miskin. Karena tidak cukup sebagai manusia fiqih dalam artian hanya sebatas ketentuan syariat saja. Jika melihat kondisi kemiskinan yang semakin bertambah, sebagai manusia tidak cukup hanya memberikan zakat sesuai ketentuan syariat, tapi harus memberikan karena rasa kemanusiaan. Dalam sholat-pun batasan aurat laki-laki dari atas pusar perut sampai lutut, tapi apakah itu menjadi sopan? Begitu juga zakat, apakah dengan ketentuan syari’at menjadi sopan jika melihat masyarakat kurang mampu semakin banyak?

Puasa merupakan penyucian jiwa dan batin manusia untuk meningkatkan kedekatan dengan Tuhan. Maka setelah puasa idul fitri menjadi tolak-ukur seseorang setelah puasa. Entah orang itu berpuasa atau tidak, hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya. Menjadi keuntungan bagi orang yang tidak puasa ketika dapat meminta maaf yang jelas dimaafkan ketika idul fitri. Tradisi mudik ketika menyambut idul fitri menjadi hal yang dianggap wajib pada kalangan masyarakat Indonesia. Mudik tidak hanya bermakna pulang ke kampung halaman setelah satu tahun atau lebih berada di tanah rantau. Tapi mudik bisa ditarik hubungan teologis dengan Tuhan yang berarti ilaihi roji’un, kepada-Mu lah aku kembali.setelah melakukan penyucian diri dalam satu bulan puasa, seharusnya manusia dapat ilahi roji’un dengan meningkatnya kedekatan dengan Tuhan. Maka proses penyucian diri itu dapat lengkap dengan ilaihi roji’un ketika idul fitri.

Idul Fitri merupakan “hadiah” tuhan kepada manusia, karena Tuhan sendiri pun masih tetap puasa meski di hari Idul Fitri. Kata Cak Nun, “Allah tetap puasa menahan diri dari murka-Nya kepada manusia, Allah tetap memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungkan berbagai pengkhianatan manusia terhadap-Nya. Ia mengorbankan diri-Nya seakan-akan Ia butuh sesuatu dari ibadah puasa manusia, padahal puasa merupakan proses dasar pembebasan dan penyelamatan manusia atas dirinya sendiri”.

Bahkan Allah pun tetap bersabar kepada manusia-manusia yang telah mendzolimi sifat “Khalifatu fil ‘Ard” yang diberikan Allah kepada manusia. Jika dikaitkan pada budaya pemerintah Indonesia, konsep sungkem berlaku kepada golongan masyarakat yang tidak mempunyai jabatan struktural di pemerintah. Coba lihat bagaimana suasana indahnya pergi dari rumah ke rumah yang lain untuk meminta maaf, begitu feodalnya pemimpin di negeri ini hanya dengan duduk manis di sofanya. Para pemimpin enggan untuk bersilaturahim dari rumah ke rumah, padahal jika melihat “dosa” boleh dikatakan dosa rakyat merupakan turunan dari dosa pemimpinnya. Keadaan masyarakat yang memaksa dirinya untuk mencopet, mencuri merupakan dosa struktural dari pemimpin yang korupsi. Akan lebih indah jika sang pejabat itulah yang sowan ke masyarakatnya untuk meminta maaf akan dosa struktural yang dilakukan. Bukan kok masyarakatnya yang sungkem ke rumah pemimpinnya.

Sedikit gelisah melihat keadaan pemimpin yang melakukan dosa struktural yang belum memaknai konsep idul fitri yang diciptakan untuk saling memaafkan satu sama lain. Maka konsep ilaihi roji’un menjadi pertanyaan yang mendasar kepada pemimpin yang masih enggan sungkem ke masyarakat meski melakukan dosa struktural dan menimbulkan dosa sosio-individu di kalangan masyarakat kurang mampu.

Sungguh Tuhan masih berpuasa sampai hari ini, jika tidak mungkin beberapa tahun yang lalu dunia ini sudah tidak ada. Mari renungkan dan evaluasi makna ilaihi roji’un setelah melaksanakan puasa ramadhan dan menyambut idul fitri ini.

Minal Aidzin wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir Batin

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438H/2017M

Penulis: Reza Muhammad Nashir / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY 2015

Ponorogo, 23 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun