Mohon tunggu...
Reza Muhammad Nashir
Reza Muhammad Nashir Mohon Tunggu... -

S1 Program Studi Ilmu Pemerintahan 2015 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korea Utara 1950-an dan Pencari Suaka Politik Pasca G 30 S PKI

18 Maret 2017   04:07 Diperbarui: 18 Maret 2017   04:28 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 1818 seorang manusia ajaib dilahirkan, dialah Karl Marx yang membuat sejarah umat manusia menjadi akan berbeda. Di usianya yang masih muda, bersama seorang sahabatnya Frederich Engels, mereka berdua mengguncangkan dunia dengan pamflet Manifesto Komunis. Manifesto itu menyerukan yang pada intinya mengajak semua kaum proletar untuk bisa bersatu. Bertahun-tahun Karl Marx menyebarkan ajarannya ke seluruh penjuru dunia. Ketika ajaran Karl Marx ini mulai menyebar luas, banyak orang yang menjadi fanatik dan kehilangan daya kritisnya terhadap ajaran Karl Marx.

Ketika ajaran ini mulai menyebar hampir sepertiga di dunia ini, sang pencetus ajaran tidak sempat untuk mengetahui bahwa ajarannya mulai merambah ke negara-negara dan murid-muridnya. Sang pencetus tidak tahu apakah mereka (pengikut ajaran) benar-benar melakukan ajarannya atau hanya bohong-bohongan. Yang jelas di tahun 1900-an mulai banyak negara-negara dengan sistem sosialis. Korea Utara dan Uni Soviet merupakan contoh berdirinya negara sosialis saat itu selain negara-negara sosialis yang lain seperti Tiongkok, Vietnam, Kuba bahkan Indonesia sendiri dengan PKI yang tampil sebagai partai terbesar di dunia.

Korea Utara merupakan salah satu negara sosialis saat itu, Kim Il Sung merupakan salah satu pemimpin di Korea yang dijadikan sebagai kultus individu di bumi Korea Utara. Kim Il Sung merupakan pahlawan yang telah berjasa dalam perang dingin dengan Korea Selatan sekitar tahun 1950. Dan juga ketika matinya ditetapkan sebagai presiden seumur hidup oleh konstitusi Korea Utara. Di Korea Utara sistem sosialis sangat dipraktekkan, semua dilakukan atas kebijakan partai komunis. Semua dijaga begitu rapi dan waspadanya untuk menjaga paham sosialis ini dapat tumbuh dan berkembang di Korea Utara saat itu.

Dalam implementasinya, semua barang yang ada di Korea Utara saat itu menjadi barang publik yang artinya semua milik negara, tidak ada barang atas nama kepemilikan pribadi. Patut diwaspadai ketika ada seseorang yang berpenampilan parlente. Kamu repatrian, begitu sebutan bagi orang-orang yang berdarah asli Korea Utara tapi menjadi korban fasis penjajahan Jepang yang diangkut menjadi pekerja di Jepang. Ketika orang-orang repatrian kembali pulang kampung, mereka seperti rusa masuk kampung, yang artinya kehidupan yang diperoleh selama di Jepang sangat berbeda jauh di tanah airnya. Mereka mengangkut semua kekayaannya dari Jepang dibawa ke tanah airnya. Tapi pada akhirnya kekayaan tu dirampas oleh pemerintah karena menurut paham sosialis tidak ada perbedaan sekat dalam kehidupan bermasyarakat. Orang repatrian menjadi seperti halnya orang-orang yang mulai lahir sampai besar di negerinya sendiri.

Kehidupan di Korut sangat dipengaruhi oleh Partai, siapa yang tidak patuh dan taat, mereka bisa hilang secara tiba-tiba. Bahkan orang pribumi tidak diperkenankan untuk bisa bergaul dengan orang asing, yang saat itu memang pemerintah Korut sudah mulai membuka kerjasama dalam hal pendidikan ke negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Orang-orang asing yang tinggal di Korut saat itu sangat diwaspadai mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, mulai dari kota sampai pucuk gunung sekalipun. Sudah ada pioner dari partai untuk menjadi intel orang-orang asing, mereka yang dalam sistem perkaderan partai sudah bersumpah dan setia kepada partai. Jadi intel atau pioner dalam partai memang orang-orang pilihan yang sudah dipercayai oleh pimpinan partai. Orang-orang asing juga mendapat perlakuan khusus, seperti mereka tidak diperbolehkan untuk belanja di toko-toko milik rakyat pribumi. Begitupun juga sebaliknya. Orang asing sudah diberi semacam toko yang sudah lengkap, itu memang khusus untuk orang asing.

Kultus individu di Korut sudah diajarkan oleh orang tua sejak bayi untuk memuja sang pahlawan dan pemimpin mereka, Kim Il Sung. Di tatanan perkotaan sampai desa pun pasti ada patung ataupun poster tentang Kim Il Sung. Bacaan buku mereka juga merupakan pilihan partai, yaitu dengan membaca karya-karya dari Kim Il Sung. Di stasiun, jalanan, hotel beserta kamar-kamarnya dan gedung-gedung sudah pasti ada lukisan dari sang pemimpin tersebut. Bahkan amplop surat pun jika terdapat gambar Kim Il Sung tidak boleh untuk di stempel.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan Korea Utara dimulai tahun 1964. Saat itu presiden Ir. Soekarno berkunjung ke Korea Utara untuk menjalin perjanjian diplomatik.

PKI di Indonesia yang begitu besar menjadi tidak disangka-sangka bakal hancur pada peristiwa yang biasa disebut G 30 S PKI. Orang-orang Indonesia yang berada di Korut terutama mahasiswa menjadi korban. Mereka banyak yang menjadi bahan ejekan orang pribumi karena dianggap PKI tidak mencontoh Korut. Pemberantasan PKI gencar dilakukan sejak orde baru yang dipimpin Soeharto menumbangkan Soekarno. Orang-orang yang dianggap PKI dibantai habis-habisan bahkan sampai rumahnya pun ikut dibakar. Bahkan tidak hanya dilakukan didalam negeri saja, tapi juga orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri juga dimintai keterangan. Siapa yang tidak patuh dan taat terhadap Soeharto mereka dicabut langsung paspornya yang menimbulkan banyaknya suaka politik pasca tragedi G 30 S PKI. Mereka terancam untuk menjadi kewarganegaraan lain untuk melangsungkan hidupnya.

Di Korea Utara tidak diperkenankan untuk mencari suaka politik. Orang-orang di Indonesia yang berada di Korea Utara yang tetap setia pada Soekarno tidak mendapat perlindungan karena Indonesia mencemarkan partai komunis dengan tumbangnya PKI. Hubungan antara Indonesia dengan Korea Utara menjadi renggang. Indonesia dicap sebagai negara kapitalis oleh masyarakat Korea Utara. Prancis menjadi negara penyelamat orang-orang korban tragedi G 30 S PKI yang terancam di negerinya sendiri dengan membuka suaka politik untuk pindah kewarganegaraan. Karena saat itu, Prancis dan Indonesia tidak mempunyai perjanjian untuk dwikewarganegaraan.

Para pencari suaka politik di Prancis tidak serta merta diterima, tapi dilihat berbagai alasan. Setelah diterima pun mereka belum punya hak untuk mencari pekerjaan, mereka ditampung di tempat penampungan pencari suaka politik untuk belajar bahasa Prancis dan mempelajari kehidupan di Prancis. Selama itu pula mereka juga diberi pesangon untuk keperluan seharinya. Setelah keluar dari tempat penampungan pun, mereka masih tetap diberi pesangon sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan. Makanya, mereka wajib melapor ke lembaga yang memberikan suaka politik itu jika telah mendapatkan pekerjaan.

Itulah yang bisa di ceritakan penulis tentang kehidupan di Korea Utara dan pencari suaka politik pasca G 30 S PKI. Ibarat berjiwa dan berhati Indonesia, tapi berkewarganegaraan lain.

Penulis  : Reza Muhammad Nashir / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY 2015

Yogyakarta, 18 Maret 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun