Mohon tunggu...
Reza Muhammad Nashir
Reza Muhammad Nashir Mohon Tunggu... -

S1 Program Studi Ilmu Pemerintahan 2015 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reorientasi Arah Gerak Komisariat sebagai Upaya Mewujudkan Tujuan HMI

20 Februari 2019   01:46 Diperbarui: 20 Februari 2019   02:07 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Latar Belakang

Suatu organisasi berdiri memiliki sejarah latar belakang yang berbeda satu sama yang lain. Perbedaan itu yang menimbulkan perbedaan ciri maupun karakteristik organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Perbedaan tersebut yang membuat akar sejarah suatu organisasi untuk bisa tetap hidup dalam menjawab tantangan zaman yang seiring dengan bertambahnya waktu tantangan tersebut bisa berubah-ubah.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi Islam, lahir di era pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947, seiring dengan agama Islam merupakan Agama Perjuangan, yang mengilhami berdirinya HMI. Situasi Negara Republik Indonesia yang saat itu masih berumur dua tahun, baru lepas dari belenggu penjajahan selama 350 tahun ingin mempertahankan kemerdekaan itu. 

Situasi umat Islam Indonesia, situasi dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan merupakan latar belakang berdirinya organisasi ini dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan untuk masyarakat Islam (Sitompul, 2008:1).

Suatu organisasi didirikan selain karena memiliki latar belakang tertentu juga memiliki tujuan kedepan yang ingin dicapai. HMI yang berdiri di pasca kemerdekaan, dimana situasi bangsa saat itu yang masih genting untuk mempertahankan kemerdekaannya memiliki tujuan yang telah diputuskan oleh Kongres HMI I di Yogyakarta bulan November 1947 yaitu:

  • Mempertegak dan mengembangkan agama Islam
  • Mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia

Dari formulasi Tujuan HMI itu, Nampak bahwa yang dijadikan objek dan fokus  adalah agama, rakyat, dan negara (Moerdiono dkk, 1990: 22)

Kemudian dengan seiring berjalannya HMI dan tentunya tantangan zaman yang berubah menuntut HMI melakukan kajian kembali tujuan organisasinya. Maka di Kongres ke-9 HMI di Malang tahun 1969, telah berhasil merumuskan gambaran insan  cita HMI untuk menjelaskan tujuan HMI. 

Gambaran dari insan cita itu yang tercantum dalam pasal 5 AD HMI mempunyai lima kualitas insan cita disertai 17 indikatornya. 

Kemudian pada kongres ke-10 HMI di Palembang pada tahun 1971 berhasil diputuskan satu rumusan tentang "Tafsir Tujuan HMI" yang merupakan penyempurnaan dari Gambaran Insan CIta HMI pada kongres sebelumnya (Solichin, 2010: 33-34).

Berdasar faktor tersebut, HMI telah menetapkan tujuan organisasinya dalam Pasal 5 Anggaran Dasar (AD) HMI yang berbunyi: "Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT." ( (Arifin, Fauzi, & Hakim, 2015:135).

Rumusan tersebut yang menegaskan bahwa pada hakikatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kuantitatif, tetapi HMI merupakan organisasi yang berorientasi pada pengembangan intelektual kader untuk ditransformasikan kedalam kehidupan masyarakat dengan cara-cara perjuangan yang efektif dan benar.

Tujuan HMI yang telah terangkum dalam kualitas insan cita dalam dri manusia sebagai tonggak perjuangan kehidupan. Mahasiswa merupakan salah satu sumber daya manusia di Indonesia yang sangat penting keberadaannya karena sebagai generasi yang bakal melanjutkan perjuangan bangsa ini.  

Mahasiswa merupakan insan yang memikul tanggung jawab masa depan arah suatu bangsa. HMI yang berdiri di tengah-tengah kampus dan didirikan oleh kalangan mahasiswa membuat organisasi ini berstatus sebagai organisasi mahasiswa, yang artinya bahwa HMI lahir di tengah-tengah mahasiswa dan anggota dari HMI adalah yang masih berstatus mahasiswa. 

Hal ini bertujuan untuk menghidupkan kembali serta mengajak mahasiswa untuk meneruskan estafet perjuangan untuk kerja kemanusiaan. Mahasiswa yang merupakan agent of change mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia melalui kualitas insan cita yang telah di ada di HMI. Ini yang membuat HMI memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk diri manusia yang berguna bagi masyarakat serta memenuhi kerja kemanusiaan.

Dalam perjalanan organisasi, tentu diperlukannya sebuah regenerasi untuk melanjutkan estafet perjuangan. Mahasiswa yang disebut sebagai agen perubahan dalam masyarakat membutuhkan wadah untuk melakukan pengembangan diri. 

Hal itu yang membuat fungsi dari HMI didirikan sebagai organisasi kader, yang memiliki tujuan mempersiapkan tiap manusia untuk mengambil tanggung jawab dalam estafet perjuangan bangsa. HMI memikul peranan sebagai organisasi yang menghasilkan sumber daya manusia berdaya saing tinggi (Hasdiansyah, 2017:134).

Sebagai organisasi pengkaderan, komisariat merupakan tempat ujung tombak dalam pembentukan kader-kader di awal. Kualitas seorang kader tergantung pada komisariat dalam mengelola proses perkaderan di HMI. Untuk mewujudkan kualitas kader, komisariat harus mampu untuk mengelola suasana akademis yang kondusif untuk mengembangkan kualitas maupun mental tiap-tiap kader. Tradisi-tradisi intelektual seperti membaca, menulis, berdiskusi maupun meneliti merupakan hal yang wajib dilakukan komisariat untuk mengembangkan kadernya.

Seiring dengan perkembangan zaman, tuntutan untuk melakukan kemajuan sangat tinggi. Umur HMI yang sudah 71 tahun sekarang memberikan arti tersendiri bagi himpunan ini. Secara positif, organisasi ini sudah dewasa dengan pengalaman-pengalamannya selama ini. Di balik kedewasaan ini, organisasi mengalami banyak problem yang dapat menghambat lajunya perkembangannya. 

Pandangan seorang sosiolog muslim Ibnu Khaldun mengungkapkan tentang teori siklus negara (organisasi), bahwa organisasi hadir (lahir), kemudian mengalami fase maturitas (kedewasaan) dan fase penuaan (penurunan) kemudian menjadi kematian. 

Pandangan yang sangat sederhana namun sarat dengan pesan ini mengingatkan bahwa apabila sebuah organisasi ingin tetap hidup jangan terjebak masuk ke dalam fase penuaan.Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul menulis buku 44 Indikator Kemunduran HMI Suatu Kritik dan Koreksi Untuk Kebangkitan Kembali HMI yang mengungkapkan secara factual sebab-sebab kemunduran HMI. 

Salah satu dari indicator tersebut adalah HMI semakin jauh dari mahasiswa, karena tidak dapat mengembangkan student need dan student interest secara professional (Solichin, 2008: 67-69).

Sebagai organisasi mahasiswa Islam, HMI khususnya Komisariat Tunas Bangsa jika dilihat secara historis merupakan salah satu komisariat yang mampu bersaing di kampus lewat kader-kadernya yang memiliki ide gagasan cemerlang. 

Hal ini yang dapat dinilai bahwa komisariat Tunas Bangsa memiliki tradisi intelektual yang baik dengan budaya-budaya diskusi. Diskusi secara kultural yang dilakukan komisariat Tunas Bangsa serta keterikatan kader dalam kekeluargaan harmonis saat itu yang membuat Tunas Bangsa dapat dikatakan "macan kampus".

Tetapi semua itu sudah berlalu bersama angin zaman yang telah jauh berlalu. Keberadaan komisariat Tunas Bangsa saat ini menghadapi situasi dimana tradisi diskusi-diskusi secara kultural perlahan mengalami penyusutan, menyebabkan kader tidak mampu bersaing di dalam kampus dan bargaining Tunas Bangsa menjadi menurun drastis sehingga dari tahun ke tahun jumlah kader mengalami penyusutan. 

Kualitas Insan Cita HMI yang pertama, yaitu kualitas insan akademis tidak tercapai di dalam komisariat ini. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Tunas Bangsa bakal mengalami jalan terjal untuk menuju ke tujuan HMI. Karena langkah-langkah untuk mencapai kesemua 5 kualitas insan cita HMI sudah tersandung di langkah pertama.

Kondisi yang mengalami penurunan drastis ini dapat terlihat dalam aktivitas komisariat beberapa tahun ini. Aktivitas kader yang lebih menyukai hal-hal dalam memuaskan material daripada untuk memenuhi kualitas insan akademisnya. 

Diskusi di dalam komisariat lebih mengedepankan untuk menuntaskan kewajiban program kerja yang sudah dirancang. Maka, dalam perjalanannya output dari program kerja yang sudah dilaksanakan menjadi semu. 

Bahkan diawal penyusunan program kerja pengurus terkesan kurang memiliki terobosan terbaru ataupun kreatifitas sesuai dengan tantangan sekarang. Akhirnya kader hanya memiliki hubungan kekeluargaan disaat ada program kerja, diskusi kultural yang sudah memudar hilang seketika.

Pada waktu tidak ada program kerja, maka komisariat menjadi mati suri dalam pengembangan insan akademis. Ngopi yang sering dilakukan dalam waktu luang tersebut hanya dilaksanakan untuk memuaskan keinginan kader. 

Memang sangat perlu aktivitas untuk mempererat kader seperti ngopi, akan tetapi harus diimbangi dengan memperkaya wawasan untuk mencapai kualitas insan akademis HMI. Maka dalam aktivitas di luar program kerja juga harus masukkan hal-hal yang membuat kader nyaman serta membuka wawasan baru. "Ngopi Sembada" mungkin sedikit cukup untuk memberikan gambaran untuk melakukan kegiatan yang santai namun dapat memberikan output wawasan kader.

Komisariat Tunas Bangsa yang kurang mampu memberikan student need yang menyebabkan keberadaan dan peran organisasi ini dilupakan di dalam kampus. Alih-alih dapat menyampaikan ide gagasannya, memiliki wawasan untuk pengembangan diri saja sudah tersendat. Komisariat yang seharusnya memberikan dasar kebutuhan mahasiswa secara teoritis, justru terperosok ke dalam arus gelombang globalisasi.

Kondisi ini memang tidak hanya terjadi di Komisariat ini, tetapi lebih tepatnya bahwa kondisi ini juga pengaruh dari globalisasi. Menurut Wahana (2015:15) mengungkapkan bahwa "Salah satu fenomena penting proses globalisasi telah melahirkan generasi gadget, istilah yang digunakan untuk menandai munculnya generasi millennial, gadget yang diartikan sebagai peralatan mengandung unsur teknologi informasi telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Seolah-olah berbagai alat high-technology telah menjadi bagian dalam hidupnya (Zuhal, 2000; Naisbitt, 2002 dalam Wahana, 2015: 15).

Seharusnya perkembangan sumer informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kader. Tapi realita di lapangan kader lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan social yang mengubahnya penggunaan gadget mengesampingkan untuk mngembangkan kualitas insan akademis. 

Maka dapat disimpulkan bahwa kader mudah terpengaruh lingkungan social mempertimbangkan efek positif maupun negatif atas aktivitas internet tersebut. Hal ini yang membuat bahwa minat baca buku yang merupakan kebutuhan mendasar menjadi terkesampingkan oleh gadget yang sebagian besar digunakan hanya untuk media social.

Dalam Arah Gerak Komisariat Tunas Bangsa, minat baca buku yang rendah juga menjadi permasalahan harus segera diselesaikan dalam Komisariat ini, dengan hal ini yang dapat mengantarkan meraih kejayaan kembali komisariat. 

Dengan minat baca buku tersebut  merupakan hal dasar yang nantinya dapat membuat kader memiliki kualitas insan akademis HMI. Karena kader menjadi mampu memahami teoritis lingkup ilmu yang dipelajarinya dan dapat menumbuhkan kesadaran diri untuk mengaktualisasikan ke dalam social (Platform Arah Gerak HMI Tunas Bangsa UMY)

Menghadapi fenomena ini tidak perlu di risaukan secara berlebih yang menyebabkan otak dan tangan tidak mampu bekerja secara optimal.Komisariat Tunas Bangs ajika diibaratkan sebagai gelombang, masih terbilang wajar jika terkadang eksistensi longitudinalnya naik-turun, yang menjadi catatan penting adalah Tunas Bangsa masih mampu menghadirkan kegiatan perkaderan yangmerupakan detak jantung HMI. Komisariat yang menjadi akar dari HMI, masih mampu memberikan satu dua kader yang dapat bersaing secara teoritis dan mampu mengaktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Komisariat Tunas Bangsa yang seharusnya sebagai wadah kader untuk mengembangkan diri terutama dalam hal pengembangan intelektualnya, kini mengalami banyak kemunduran yang harus diselesaikan. Sebagai contoh kader tidak mampu bersaing di tataran kampus dalam memberikan ide gagasan. Kualitas insan akademis yang menjadi salah satu kualitas insan cita HMI merupakan langkah awal yang wajib dicapai supaya tujuan HMI yang terangkum dalam "Kualitas Insan Cita HMI" dapat terwujud. 

Melihat semakin memudarnya perkaderan di komisariat, perlu untuk dilakukan reorientasi kembali arah gerak komisariat. 

Kemunduran yang dirasakan harus dihadapi dan diselesaikan supaya tidak terjebak ke dalam penuaan organisasi yang kemudian kematian.  Mulai dari pembenahan pola manajemen organisasi untuk memulai suatu gebrakan baru tersebut. Pola-pola yang sudah tidak sesuai harus diperbarui disesuaikan dengan kondisi internal maupun eksternal organisasi.

B. Pembahasan
Keberadaan suatu komisariat sangat penting bagi HMI karena merupakan akar organisasi paling bawah dalam proses perkaderan serta ujung tombak untuk mencapai tujuan organisasi. Lewat komisariat HMI akan bekerja dan menunjukkan perannya supaya mampu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 

Untuk mencapai tujuan tersebut maka komisariat membutuhkan manajemen sebagai alat untuk mengelola kembali aktivitasnya agar berjalan secara efektif (hasil guna) dan efisien (daya guna) serta mampu mencapai tujuan yang telah diharapkan. 

Menurut George Terry dalam bukunya Principles of Management (1964) menyatakan bahwa manajemen adalah serangkaian proses yang terdiri dari 5 (lima) tahap yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai sasaran yang telah ditentukan dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan lainnya (Syafiie, 2014:125).

Hal senada juga diungkapkan oleh Stoner yang menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses perencanaan, pngorganisasian, pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Rokhayati, 2014:3).

Definisi dan pengertian dari ahli diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah suatu proses kerjasama dari orang-orang di dalam organisasi untuk menentukan, melaksanakan, dan mencapai tujuan organisasi dengan mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen yaitu sebagai berikut:

Perencanaan (planning)

Perencanaan merupakan persiapan yang teratur dari setiap usaha untuk mewujudkan tujuan sehingga unsur-unsurnya terdiri dari tujuan. Kebijakan, prosedur, program, dan progress. Dalam melakukan suatu perencanaan, faktor lingkungan sangat mempengaruhi seperti pengaruh sumber daya manusia ataupun sumber daya alam. 

Serta juga kualitas intelektual dan moral individu yang memimpin organisasi menjadi kriteria utama dalam melakukan perencanaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan seseorang dapat terkungkung oleh permasalahan sumber daya disekitar seperti dana, staff organisasi (Syafiie, 2014:127-128).

Pada tahap pertama manajemen ini, HMI Komisariat Tunas Bangsa melakukan dengan melihat apa yang dimiliki oleh organisasi ini, serta kendala apa yang akan dihadapi kedepannya. Tujuan untuk mereorientasi kembali tujuan HMI terutama dalam kualitas insan akademis perlu untuk dirumuskan bagaimana langkah yang akan dilakukan kedepannya. Hal ini menjadi tidak benar-benar menjadi poin utama supaya dalam proses yang dijalaninya bisa efektif dan efisien.

Seperti diketahui bahwa Tunas Bangsa yang telah mengalami kemunduran terutama dalam menciptakan insan akademis harus dilakukan perencanaan agar kader menjadi mengetahui kewajibannya dalam mencapai tujuan HMI. 

Tunas Bangsa yang lebih banyak kegiatan informal, seperti ngopi, nongkrong, main bisa menjadi senjata utama yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Selama ini hal-hal yag dilakukan tersebut hanya sebatas untuk memenuhi hasrat keinginan individu. 

Maka aktivitas seperti yang telah dilakukan tersebut seperti halnya orang-orang biasa diluar HMI. Memang tidak bisa dipungkiri di era sekarang mahasiswa terutama lebih menyukai hal-hal tersebut karena fasilitas yang sudah tersedia yang membuat ketertarikan.

Tetapi ini bisa menjadi kunci utama untuk melakukan perencanaan kedepan. Seperti halnya diskusi kultural di warung kopi bisa menjadi pilihan untuk mewujudkan insan akademis. Diskusi-diskusi yang dilakukan di secretariat mungkin terasa jenuh dirasakan kader, maka bisa dilakukan oleh komisariat Tunas Bangsa melakukan diskusi di warung kopi atau tempat-tempat nongkrong agar apa yang menjadi keinginan hasrat individu bisa tercapai sedangkan tidak menyampingkan untuk mewujudkan kualitas insan akademis dalam tujuan HMI.

Selain itu juga dapat dilakukan dengan diskusi-diskusi kultural ketika nongkrong. Hal ini yang harus diperhatikan oleh komisariat dimana mahasiswa sekarang apalagi kampus di kota yang besar pasti tidak luput dengan penyediaan fasilitas tempat santai. Diskusi kultural bisa dibangun dengan ngobrol santai saat nongkrong diselipi membahas isu-isu terkini yang mencakup permasalahan yang bisa membuat seseorang menanggapi hal tersebut.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang pasti bakal mengalami titik jenuh dalam organisasi. Maka dari semua aktivitas didalam komisariat harus diimbangi dengan refreshing agar kader tidak merasa jenuh akan aktivitas komisariat. 

Main-main ke tempat wisata dan sebagainya bisa sebagai solusi supaya kader tetap bisa bertahan didalam komisariat dan berproses di HMI. tapi satu hal yang penting diperhatikan bahwa meskipun bersifat informal harus tetap memasukkan nilai-nilai akademis didalamnya. 

Seperti berkunjung ke museum untuk menambah cakrawala kader akan sejarah-sejarah di masa lalu, mengunjungi tempat konflik agrarian supaya kader mampu untuk melihat secara langsung bagaimana perjuangan masyarakat dalam mempertahankan tanahnya.

Permaslaahan keaktifan kader juga memiliki peran yang besar dalam mewujudkan tujuan HMI. Komisariat Tunas Bangsa juga tidak luput dari permasalahan ini. 

Angka keikutsertaan dalam Latihan Kader 1 yang mengalami penurunan harus diperhatikan untuk keberlanjutan regenerasi organisasi ini. Malam Keakraban (Makrab) yang memang biasa dilakukan oleh organisasi dalam menjalin hubungan emosional anggotanya selama ini tidak pernah terlaksana di komisariat ini. Kegiatan ini memang dirasa sangat perlu dilakukan untuk memperkuat internal di komisariat.

Perlu diperhatikan juga dalam melakukan perencanaan ini harus benar-benar matang dan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan. Meskipun dalam proses perencanaan ini lebih banyak di kegiatan yang informal, harus tetap memasukkan nilai-nilai intelektual pada setiap kegiatan tersebut. 

Perencanaan akan kegiatan yang akan dilakukan kedepan harus sesuai dengan situasi mahasiswa di era sekarang. maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses perencanaan ini HMI Komisariat Tunas Bangsa UMY akan mengadakan kegiatan yang bersifat santai tetapi tetap memegang teguh nilai intelektual didalamnya.

Dalam proses perencanaan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan perlu memperhatikan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Hal ini menjadi penting karena agar perencanaan dilakukan tidak keliru. Formulasi yang keliru dapat menyebabkan dampak yang kurang baik bagi organisasi, sehingga pada tahap perencanaan ini organisasi harus mampu mencermati sumber daya yang dimiliki selama ini serta memahami kemungkinan yang akan terjadi (Priyono, 2007: 60).

Jika dilihat HMI Komisariat Tunas Bangsa memiliki budaya egaliter dalam kepengurusan serta kekeluargaan yang terjalin sangat baik antar kader dimana meskipun seorang kader tidak aktif tapi ketika datang dalam satu dua kegiatan masih tetap bisa berbaur tanpa ada diskriminasi. Ini menjadi modal awal komisariat untuk melakukan perencanaan. Dapat disimpulkan bahwa fokus arah gerak Tunas Bangsa yaitu pada kualitas insan akademis.

Pengorganisasian (organizing)
Pengorganisasian adalah suatu proses kerja sama dalam organisasi  dengan pembagian kerja ke dalam tugas kecil kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya dan mengalokasiakn sumber daya yang dimiliki oleh organisasi serta mengkoordinasikan supaya dalam mencapai tujuan organisasi dapat efektif (Fattah, 1996: 71).

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengorganisasian merupakan serangkaian proses yang ada didalam organisasi untuk menentukan sumber daya yang dimiliki dan memberikan tugas-tugas kecil kepada tiap bidang atau individu untuk mengarahkan kepada tujuan organisasi secara efektif.

Melihat pada tahap perencanaan awal bahwa HMI Komisariat Tunas Bangsa fokus kepada menciptakan kader-kader yang memiliki kualitas insan akademis perlu dilakukan kerjasama antar tiap bidang yang ada di komisariat. Bidang Pengkajian Wacana Keilmuan (PWK) menjadi bidang yang sangat vital untuk mewujudkan itu. 

Diskusi-diskusi yhang dilakukan harus memilki metode yang dapat ditangkap oleh semua kader. Diskusi sambal ngopi yang telah dijelaskan dalam tahap perencanaan perlu kiranya PWK untuk menggandeng bidang Pengembangan Anggota (PA) untuk mampu mengajak kader mengikuti diskusi yang diadakan.

Bidang PA mendapatkan tugas untuk mengadakan kumpulan kultural diluar jadwal komisariat yang nantinya bidang PWK pada waktu yang telah ditentukan mampu memasukkan nilai intelektual pada kumpulan secara kultural tersebut. Kedua bidang ini harus mampu mengetahui kesukaan dari tiap-tiap kader. Konsolidasi antar bidang tidak hanya meliputi kedua bidang ini saja, tetapi pada bidang Perguruan Tinggi Ke-Mahasiswaan (PTKM) juga punya peran disini.

PTKM yang memiliki fungsi sebagai bidang yang membahas isu-isu terkini dan juga sebagai sayap eksternal komisariat harus mampu membuat agenda yang membahas isu-isu yang ada. Hal ini untuk mendorong kader mampu mengimplementasikan apa yang sudah dipelajari secara teoritis kedalam aspek social masyarakat. Maka tugas dari PTKM adalah mendorong kader untuk lebih peka terhadapa lingkungan social disekitar.

Ketiga bidang ini juga harus tetap melakukan follow-up kepada kader setelah melakukan diskusi supaya memiliki output dalam kehidupan kader. Kerjasama ketiga bidang ini harus tetap terjalin untuk mengetahui sampai seberapa jauh kader mampu menghayati dan menambah wawasan untuk menciptakan insan akademis didalam komisariat.

Pelaksanaan (actuating)

Pada tahap ketiga ini yaitu pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap organisasi atas apa yang telah direncanakan diawal. Tahap ini meliputi teknis yang telah ditetapkan diawal serta metode yang akan digunakan. Ketiga bidang harus melakukan tugasnya masing-masing serta selalu berkoordinasi satu sama lain.

PWK yang merupakan bidang untuk menunjang aspek insan akademis secara teoritis, metode yang digunakan seperti dengan ngobrol santai harus dicari output yang tepat, seperti menghasilkan tulisan-tulisan kader ataupun testimoni setelah dilakukannya diskusi tersebut. hal ini yang membuat kader selain mendapatkan wawasan baru juga bisa untuk belajar menulis akan hal-hal yang sudah dipelajarinya. Selain itu metode seperti diskusi dua arah juga bisa dilakukan dengan melibatkan pihak pro dan kontra dalam forum tersebut. ini bisa memancing bagaimana kader bisa memahami suatu hal dari kedua arah, tidak hanya terpaku pada satu pihak.

Seperti halnya pada pagelaran lomba debat, metode seperti itu bisa dipakai agar dalam forum tersebut keterlibatan kader bisa menyeluruh. Disini peran seorang pemantik sangat diperlukan untuk menciptakan forum yang dinamis. Pembahasan dari hal-hal yang mudah diserap oleh kemampuan semua kader harus diperhatikan. 

Untuk menciptakan suasana yang dinamis di dalam forum tersebut, maka semua yang berada pada forum tersebut wajib untuk memberikan gagasannya, dengan catatan bahwa tidak ada yang saling menjelekkan satu sama yang lain.

Pemberdayaan kader juga bisa dilalui dengan diskusi yang mana key note speaker diambil dari internal sendiri. Disini kader secara tidak langsung dipaksa untuk memahami materi yang telah akan disampaikan, maka kader pasti bakal mencari referensi-referensi, pada akhirnya timbul minat baca pada kader tersebut. tetapi perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan bahwa ini merupakan sarana belajar, tidak ada yang saling menggurui.

Selanjutnya peran PA dalam tahap ini yaitu menganalisis apa yang menjadi fokus kajian tiap kader yang nantinya bakal dibuat sebuah fokus kajian kader oleh PWK. PA juga lah yang menginisiasi adanya diskusi kultural yang tidak terjadwal didalam komisariat. 

Maka disini PA harus langsung turun kebawah untuk melakukan pendekatan emosional pada tiap kader. Dengan turun kebawah tersebut maka hubungan yang tercipta didalam komisariat tidak hanya sebatas hubungan kerja organisasi, tetapi juga hubungan karena pertemanan yang sangat erat. Pelan tapi pasti kader bisa nyaman didalam komisariat.

Setelah PWK dan PA melaksanakan tugasnya tersebut, maka disini peran PTKM sangat diperlukan untuk mengajak kader lebih dekat kepada masyarakat. Secara teori PWK telah memberikan kajian yang membuat kader memiliki wawasan yang luas serta PA yang membuat suasan kekeluargaan di dalam komisariat menjadi lebih harmonis, maka PTKM bidang yang mengadakan kegiatan lapangan untuk mengimplementasikan ilmu yang telah diperoleh. 

PTKM misal dengan bersolidaritas turun ke tempat konflik agraria membuat kader mampu untuk menganalisis dan membenturkan teori dan kajian yang telah didapat melihat ketempatnya secara langsung.

Piknik literasi juga bisa menjadi pilihan yang lain oleh PTKM untuk belajar sambal wisata ke tempat-tempat seperti museum. Pada pelaksanannya memang ini bukan hanya sekedar main untuk refreshing tetapi juga memberikan pengetahuan kepada setiap kader. Kunjungan-kunjungan ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bisa menjadi alternative yang lain untuk mengimplementasikan teori yang sudah didapatkan.

Pengawasan (controlling)

Menurut Stephen Robein (1980) pengawasan merupakan proses mengikuti kegiatan untuk menjamin jalannya pekerjaan, dengan selesai secara sempurna seperti yang telah direncanakan diawal dengan pengkoreksian yang saling berhubungan. 

Robein disini menjelaskan bahwa ditahap pengawasan ini bisa menjadi penentu akhir karena apabila pengawasan tidak berjalan secara optimal, maka dampak yang diterima oleh organisasi tersebut bakal berlanjut sampai kedepannya (Syafiie, 2013:130).

Perlu kiranya Komisariat Tunas Bangsa ini untuk memberikan suatu standar prestasi dari tiap pengurusnya. Melalui hal ini maka setiap pengurus bakal bekerja secara optimal untuk berlomba-lomba mengejar prestasi tersebut. 

Pada tahap pengawasan ini seorang ketua umum harus teliti dalam melihat tiap bidang dalam menjalankan tugasnya, supaya dapat menilai objektif dari tiap-tiap bidang atas prestasi yang telah dicapainya ataupun perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan di selanjutnya.

Pengawasan ini juga harus diukur prestasi yang telah dicapai saat ini dibandingkan dengan prestasi pada periode sebelumnya. Hal ini yang menjadi patokan kesuksesan dari kepengurusan tersebut. apabila prestasi yang dicapai tidak bisa melalui prestasi diperiode sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa kepengurusan mengalami kegagalan dalam melakukan pengkaderan. Bidang yang memiliki prestasi yang lebih pantas untuk diberikan sebuah apresiasi, sementara bidang yang belum mampu mencapai prestasi yag telah ditentukan harus melakukan perbaikan-perbaikan untuk periode selanjutnya.

Pada ketiga tahap sebelumnya, dapat dilihat bagaimana kegiatan tersebut menghasilkan output yang bermanfaat atau tidak. Perlu kiranya diamati bagaimana perkembangan kader dalam melakukan kesemua proses tersebut. Kader menjadi bertambah wawasannya serta minat baca buku menjadi tinggi menjadi kualifikasi keberhasilan dalam melakukan manajemen ini. 

Karena itu menajadi hal dasar untuk melangkah selanjutnya dan menghasilkan kader yang milita dalam menjalankan tonggak estafet organisasi. Tunas Bangsa bakal bisa bangun keterpurukan apabila proses pengawasan ini bisa berjalan maksimal dengan pandangan yang objektif.

Referensi:

Buku

Arifin, M. S., Fauzi, I., & Hakim, M. L. (2015). Modul Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Yogyakarta: Pengurus Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Yogyakarta Periode 2013-2014.

Fattah, N. (1996). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Handoko, T. H. (2011). Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Priyono. (2007). Pengantar Manajemen. Sidoarjo: Zifatama Publisher.

Sitompul, A. (2008). Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975). Jakarta : CV Misaka Galiza.

Solichin. (2010). HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation.

Syafiie, I. K. (2014). Ilmu Pemerintahan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Jurnal

Hasdiansyah, A. (2017). Peran Kader Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Membangun Tradisi Ilmiah Di Dalam Kampus. Pendidikan Luar Sekolah, 134.

Rokhayati, I. (2014). Perkembangan Teori Manajemen Dari Pemikiran Scientific Management Hingga Era Modern Suatu Tinjauan Pustaka. Ekonomi dan Bisnis.

Wahana, H. D. (2015). Pengaruh Nilai-Nilai Budaya Generasi Millennial Dan Budaya Sekolah terhadapa Ketahanan Individu. Ketahanan Nasional, 14-22.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun