Pemerintah telah melakukan banyak hal untuk menyelesaikan masalah Covid-19 di DKI Jakarta. Akan tetapi, dampak yang didapatkan dari usaha tersebut nampaknya belum dapat dikatakan berhasil sedikitpun.
Pemerintah terlalu fokus dalam melakukan pembahasan pemilihan situasi lockdown, karantina wilayah, atau darurat sipil untuk menanggulangi Covid-19 sehingga pembahasan konkret lainnya dari pandemi satu ini, yakni sebanyak-banyaknya melakukan rapid test dan membuat pelayanan kesehatan sebaik mungkin terbengkalai.
Semestinya, sembari menganalisis pemilihan situasi, pemerintah terus gencar melakukan rapid test kepada sebanyak-banyaknya penduduk di DKI Jakarta.
Didukung kondisi penduduk yang masih bekerja dan tak acuh dengan kasus ini, apabila rapid test digencarkan secara masif, kemungkinan besar pasien positif Covid-19 akan meningkat tajam. Lantas, yang menjadi permasalahan lanjutan adalah kapasitas pelayanan kesehatan yang diberikan.Â
Hal ini dikarenakan hanya terdapat delapan rumah sakit rujukan sampai sekarang di DKI Jakarta untuk menangani Covid-19.
Bahkan, menurut data Ombudsman Republik Indonesia, keberadaan rumah sakit rujukan yang ada masih belum siap sepenuhnya menghadapi Covid-19.Â
Adapun pemanfaatan infrastruktur lain seperti penggunaan Wisma Atlet di Kemayoran lebih diperuntukkan bagi isolasi Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19, bukan perawatan intensif bagi yang positif Covid-19 apalagi yang lebih akut.
Secara konstruksi dan arsitektural, bangunan rumah sakit juga punya kekhususan tertentu untuk memberikan pelayanan lebih bagi pasien yang dirawat, hal ini jelas berbeda dengan bangunan Wisma Atlet.
Kapasitas pelayanan kesehatan di DKI Jakarta harus diperbanyak sebagai upaya preventif apabila rapid test semakin gencar dilaksanakan.
Wuhan, kota yang mendunia di awal tahun 2020 karena menjadi pusat awal penyebaran virus SARS-CoV-2 dapat menjadi contoh DKI Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini.
Teknologi Canggih Tiongkok: Rumah Sakit Prefabrikasi