Di era kontemporer, dunia kerja telah mengalami perubahan besar yang ditandai oleh transformasi ekonomi global. Pola kerja fleksibel menjadi ciri utama, membawa dampak positif bagi perusahaan tetapi menciptakan ketidakstabilan bagi para pekerja. Kebijakan seperti kontrak kerja lepas dan outsourcing sering kali menjadi alat eksploitasi, meminggirkan hak-hak pekerja untuk perlindungan sosial dan upah yang layak. Fenomena ini menciptakan tekanan yang tak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga psikologis, memaksa pekerja untuk bertahan melalui berbagai bentuk resistensi keseharian. Eksploitasi modern sering kali terselubung di balik narasi efisiensi dan inovasi. Pekerja di sektor layanan digital, misalnya, menghadapi beban kerja yang tidak mengenal batas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Sistem pengawasan digital memaksa mereka untuk terus produktif di bawah tekanan yang tidak manusiawi. Meski demikian, para pekerja memiliki cara-cara subtil untuk melawan dominasi ini. Praktik resistensi keseharian seperti melambatkan kerja, menghindari perintah tertentu, atau bahkan diskusi kritis di antara sesama pekerja menjadi bentuk perlawanan yang efektif, meski tidak terorganisir.
Solidaritas menjadi elemen penting dalam perlawanan terhadap eksploitasi ini. Di era digital, bentuk solidaritas tidak lagi terbatas pada hubungan fisik di tempat kerja, tetapi juga melibatkan jejaring online. Media sosial telah menjadi alat utama untuk membangun kesadaran kolektif dan menggalang dukungan lintas wilayah. Namun, teknologi juga menjadi pedang bermata dua; di satu sisi, ia memberikan alat resistensi, tetapi di sisi lain, memperkuat kontrol manajerial atas pekerja melalui pengawasan digital. Gerakan tenaga kerja kini menghadapi tantangan dalam mengorganisasi pekerja di sektor informal, terutama di tengah ekonomi gig. Meskipun demikian, aksi global seperti yang dilakukan oleh pengemudi Uber Eats dan ojek online menunjukkan bahwa solidaritas lintas negara dapat dibangun melalui narasi perjuangan bersama. Resistensi ini sering melibatkan pekerja perempuan yang menghadapi tantangan ganda: eksploitasi di tempat kerja dan beban kerja domestik. Resistensi mereka tak jarang terlihat dalam negosiasi ulang tanggung jawab rumah tangga dan solidaritas feminis. Namun, dinamika solidaritas kontemporer berbeda dari masa lalu. Solidaritas tidak lagi sepenuhnya bergantung pada institusi formal seperti serikat pekerja. Komunitas akar rumput dan inisiatif informal kini menjadi ruang utama bagi perlawanan, memberikan fleksibilitas tetapi menghadapi keterbatasan sumber daya dan legitimasi. Generasi muda, khususnya, lebih tertarik pada isu-isu spesifik seperti kesetaraan gender atau perlindungan lingkungan, yang sering kali tumpang tindih dengan isu ketenagakerjaan.
Di sisi lain, ekspansi ekonomi digital menciptakan tantangan baru. Pekerja yang terhubung secara global melalui platform digital sering kali merasa terisolasi secara lokal. Hal ini menghambat upaya untuk membangun solidaritas fisik, meskipun solidaritas virtual terus berkembang. Dalam beberapa konteks, resistensi bahkan telah menjadi bagian dari budaya pekerja, menciptakan solidaritas tak tertulis yang memperkuat perlawanan tanpa organisasi formal. Namun, resistensi keseharian sering dikritik karena sifatnya yang fragmentaris dan tidak terorganisir. Tanpa strategi kolektif yang terpusat, resistensi ini dianggap tidak cukup kuat untuk mengubah struktur eksploitasi sistemik. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat pengorganisasian tenaga kerja yang mengintegrasikan gerakan lokal dan global.
Masa depan resistensi dan solidaritas akan ditentukan oleh kemampuan pekerja untuk merespons tantangan global, seperti krisis ekonomi dan perubahan iklim, dengan pendekatan yang lebih inklusif. Dalam menghadapi ketidakpastian yang terus meningkat, solidaritas lintas sektor dan lintas negara menjadi semakin relevan. Pada akhirnya, kondisi kerja kontemporer mencerminkan ketegangan antara eksploitasi dan upaya mempertahankan martabat manusia. Resistensi keseharian dan solidaritas pekerja adalah bukti nyata bahwa di tengah tekanan ekonomi global, perjuangan untuk keadilan tetap hidup. Transformasi ini bukan hanya tentang upah dan kondisi kerja, tetapi juga tentang menjaga hak dasar pekerja sebagai manusia yang berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H