Demokrasi idealnya menjadi mekanisme partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin yang kompeten dan berkomitmen pada kepentingan publik. Namun, realitas di masa kampanye pemilihan kepala daerah di Indonesia sering kali jauh dari cita-cita ini. Demokrasi berubah menjadi ajang transaksi melalui praktik *money politics* yang menggerus esensi suara rakyat. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana suara pemilih kerap dibeli dengan uang atau hadiah lainnya, bukan berdasarkan visi, misi, atau program kerja yang ditawarkan oleh kandidat. Â
Money politics bukan sekadar persoalan etika dalam politik, tetapi juga bentuk nyata dari pelemahan demokrasi. Ketika suara rakyat dihargai dengan nominal uang atau sembako, pemilih kehilangan kesadaran akan pentingnya hak pilih sebagai instrumen perubahan. Penelitian menunjukkan bahwa praktik ini umumnya terjadi di daerah-daerah dengan tingkat literasi politik yang rendah, di mana masyarakat lebih memilih keuntungan langsung ketimbang memperhatikan dampak jangka panjang dari pilihan mereka. Hal ini memperparah kualitas demokrasi karena pemimpin yang terpilih cenderung tidak kompeten atau tidak memiliki visi yang berpihak pada rakyat. Â
Efek domino dari money politics sangat destruktif. Kandidat yang telah "membeli" suara merasa perlu untuk mengembalikan modal melalui praktik korupsi atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Akibatnya, masyarakat yang sebelumnya tergoda dengan pemberian sesaat justru harus menanggung kerugian yang jauh lebih besar, seperti pelayanan publik yang buruk dan pembangunan yang stagnan. Lingkaran setan ini terus berulang, menciptakan budaya politik transaksional yang sulit dihentikan. Â
Meskipun regulasi telah mengatur larangan politik uang, implementasinya masih lemah. Dalam konteks hukum, politik uang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasal 187A menyatakan bahwa:Â Â
1. Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dipidana. Â
2. Ancaman pidananya adalah penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak 1 miliar Â
Namun, penegakan hukum terhadap pelanggaran ini sering kali tidak maksimal. Banyak kasus politik uang yang sulit dibuktikan karena dilakukan secara terselubung. Selain itu, sanksi yang seharusnya menjadi alat pengawasan sering kali hanya bersifat administratif atau tidak menyasar aktor utama. Lemahnya penegakan hukum membuat politik uang terus menjadi alat yang efektif bagi kandidat untuk memenangkan suara, bahkan di tengah meningkatnya kritik publik. Â
Rendahnya literasi politik masyarakat juga menjadi tantangan utama. Banyak pemilih yang tidak memahami dampak buruk dari menerima uang untuk memilih. Mereka lebih melihat keuntungan jangka pendek tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut merusak peluang mereka mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkompeten. Oleh karena itu, program pendidikan politik harus diperkuat, terutama untuk membangun kesadaran bahwa memilih pemimpin adalah investasi masa depan, bukan sekadar peluang mendapatkan keuntungan materi. Â
Namun, isu ini tidak hanya tentang kandidat yang menawarkan uang, tetapi juga tentang moralitas pemilih. Selama masyarakat terus menerima politik uang sebagai hal yang wajar, praktik ini akan terus berlanjut. Perubahan besar hanya akan terjadi jika masyarakat secara kolektif menolak bentuk transaksional dalam demokrasi. Media, pemerintah, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong perubahan ini melalui kampanye antikorupsi dan pendidikan politik yang masif. Â
Demokrasi masa kampanye harus menjadi ruang kompetisi ide dan program, bukan pasar transaksi suara. Ketika demokrasi direduksi menjadi ajang politik uang, maka cita-cita untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat akan sulit tercapai. Indonesia membutuhkan kesadaran kolektif untuk melawan politik uang. Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan hanya demokrasi yang kehilangan maknanya, tetapi juga masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Rakyat harus memilih, bukan karena uang, tetapi demi perubahan yang lebih baik. Â