Mohon tunggu...
Reza Alexander Antonius Wattimena
Reza Alexander Antonius Wattimena Mohon Tunggu... -

Saya bekerja menjadi dosen dan Sekretaris Fakultas di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, redaktur Media Budaya On Line untuk Kolom Filsafat www.dapunta.com, anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO (dalam kerja sama dengan Universitas Airlangga) di UNIKA Widya Mandala, Surabaya, dan anggota komunitas System Thinking di universitas yang sama. Saya adalah alumnus program Sarjana dan Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Saya telah menulis beberapa buku yakni Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Filsafat dan Sains (2008), Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010), Bangsa Pengumbar Hasrat (2010), Menebar Garam di Atas Pelangi (artikel dalam buku, 2010), Ruang Publik (artikel dalam buku, 2010), menjadi editor untuk satu buku tentang Filsafat Manusia (Membongkar Rahasia Manusia: Telaah Lintas Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010), menulis buku filsafat populer yang berjudul Filsafat Perselingkuhan sampai Anorexia Kudus (2011), Filsafat Kata (2011), artikel dalam buku Etika Komunikasi Politik (2011), serta beberapa artikel ilmiah di jurnal ilmiah, maupun artikel filsafat populer di media massa. Saya juga menjadi editor sekaligus penulis pada Buku Ajar Metodologi Penelitian Filsafat (2011) dan Buku Ajar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pendekatan Kontekstual (2011). Kini sedang menulis buku tentang pemikiran Slavoj Žižek terkait dengan konsep manusia dan ideologi. Bidang peminatan adalah Filsafat Politik, Multikulturalisme, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dapat dihubungi di reza.antonius@gmail.com atau dilihat di \r\nRumah Filsafat www.rumahfilsafat.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tujuh Penyakit Bangsa

2 Maret 2011   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1299085131488774748

[caption id="attachment_94001" align="alignleft" width="300" caption="Google Im"][/caption]

Bangsa Indonesia sedang sakit. Itu tidak dapat diragukan. Beragam krisis menghantam tanpa ada upaya untuk melawan. Kita terjebak di dalam lingkaran setan.

Saya melihat setidaknya ada tujuh penyakit bangsa. Semua dimulai dari tiadanya kepastian hukum. Penyakit ini begitu sistemik dan mengakar. Langkah pertama adalah menyadari dan mengakui keberadaan penyakit-penyakit ini.

Hukum yang Korup

Penyakit pertama adalah sistem hukum yang korup. Menurut Habermas seorang filsuf Jerman kontemporer, hukum adalah penyangga masyarakat majemuk. Di dalam masyarakat yang memiliki beragam kriteria nilai hidup, hukum menjadi sabuk yang menyatukan semuanya, sehingga tidak terjadi perpecahan. Syaratnya adalah hukum itu merupakan hasil dari kesepakatan bebas dari pihak-pihak yang nantinya terkena dampak dari hukum itu, baik langsung ataupun tidak.

Di Indonesia sistem hukum jelas kacau. Perangkat hukumnya bias dan diskriminatif dalam beberapa aspek. Aparat penegak hukumnya pun amatlah bermasalah. Begitu mudah suap dilakukan untuk mempermulus proses hukum pihak-pihak yang berkuasa. Rakyat yang tidak berpunya pun sulit untuk mendapatkan keadilan.

Inilah penyakit utama bangsa kita. Sistem hukum yang seharusnya menjadi pengikat di dalam masyarakat majemuk justru korup dan merusak semuanya. Orang hidup dalam ketidakpastian. Keadilan hanya cita-cita yang tak kunjung datang.

Maka reformasi hukum adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda. Pranata hukum harus dibuat sebebas mungkin dari bias dan kepentingan-kepentingan partikular yang tidak adil. Aparat penegak hukum juga perlu dilakukan seleksi ulang. Kriteria utama bukanlah kedekatan pribadi, melainkan kompetensi untuk menjamin penerapan hukum yang sedekat mungkin dengan ide keadilan.

Pendidikan yang Salah Arah

Pendidikan dianggap sebagai ujung tombak perubahan bangsa. Melalui pendidikan anak-anak calon pemimpin bangsa di masa depan mengalami pembentukan cara berpikir. Orang tua mempercayakan anaknya pada para pengelola institusi pendidikan. Perubahan ke arah yang lebih baik diharapkan lahir dari institusi ini.

Namun di Indonesia itu semua tinggal harapan. Paradigma pendidikan tidak lagi berfokus pada pengembangan karakter atau peningkatan kualitas kemanusiaan, namun semata untuk pemuas para kapten bisnis dan pabrik. Pendidikan seni, sastra, dan humaniora ditinggalkan. Yang maju adalah pendidikan yang terorientasi semata pada kepentingan bisnis ataupun agama tertentu.

Harapan bahwa pendidikan akan menjadi garis depan kemajuan bangsa pun tinggal impian. Selama paradigma yang digunakan masih paradigma bisnis dan religius partikular, pendidikan hanya menjadi pelanggeng status quo, dan tidak memiliki dimensi kritis untuk memicu perubahan. Yang sungguh dibutuhkan sekarang adalah propaganda ide untuk mengubah pola berpikir para pendidik di berbagai level pendidikan yang ada. Inilah penyakit bangsa nomor dua yang perlu untuk kita waspadai bersama.

Irasionalitas Agama

Agama lahir untuk memberikan jalan kehidupan yang bermakna bagi manusia. Agama mengajarkan bahwa hidup manusia bermakna, dan bukanlah kesia-siaan belaka. Dengan agama manusia diajak untuk menjalani hidup secara luhur. Esensi setiap agama adalah kebaikan hidup manusia itu sendiri, baik secara pribadi maupun kolektif.

Di Indonesia agama telah kehilangan peran utamanya. Agama tidak lagi menjadi sumber kebaikan dan nilai-nilai luhur, tetapi elemen pemecah belah kehidupan bersama. Orang berperang dan membenci atas nama agama. Diskriminasi dan ketidakadilan dilakukan juga atas nama agama.

Ini semua terjadi karena orang tidak menggunakan akal budinya di dalam hidup beragama. Mereka sekedar percaya dan menjalankan apapun secara buta, tanpa pertimbangan kritis. Mereka lupa akan esensi agama, dan terpaku pada bagian-bagian semunya semata. Inilah yang disebut formalisme agama, yakni paham yang memfokuskan diri pada ritual dan aturan formal, serta lupa menghayati esensi dan roh sejati di baliknya.

Maka orang perlu menggunakan akal budinya secara menyeluruh di dalam hidup beragama. Orang perlu melihat apa yang sungguh penting di dalam agama, dan mengabaikan apa yang sifatnya superfisial. Ketidakmampuan untuk menggunakan akal budi dan melihat esensi agama adalah penyakit bangsa yang ketiga. Ini perlu untuk menjadi catatan kita semua.

Miskin Totalitas

Untuk maju orang harus bekerja secara total. Hal yang sama berlaku untuk sebuah bangsa. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, rakyat dan pemerintah perlu bekerja sama dengan sepenuh hati. Tanpa totalitas, yang ada adalah niat dan harapan yang tidak akan pernah terwujud menjadi tindakan.

Orang Indonesia pintar membuat rencana. Namun rencana itu tidak diikuti dengan totalitas di dalam tindakan. Akibatnya rencana hanya menjadi guratan pena, dan tidak pernah sungguh menjadi nyata. Semua hal dilakukan secara setengah-setengah. Hasilnya pun setengah-setengah pula.

Perang melawan korupsi dilakukan setengah-setengah. Hasilnya pun tidak jelas. Reformasi hukum dilakukan setengah-setengah, maka tidak ada hasilnya. Reformasi pendidikan tinggal slogan tanpa makna. Pendidikan pun tidak bisa menjadi agen perubahan sosial yang sejati.

Sikap setengah-setengah ini harus disadari, lalu diubah. Yang perlu ditanamkan adalah kesadaran, bahwa segala sesuatu perlu dilakukan dengan sepenuh hati. Kunci utama keberhasilan adalah konsistensi dan totalitas di dalam bertindak. Tanpa keduanya tidak akan ada sesuatu yang berjalan, sebagus apapun niat dan rencananya.

Mentalitas Massa

Idealnya warga negara adalah individu yang dewasa. Kedewasaan ditentukan dari kemampuan untuk mempertimbangkan apa yang baik dan buruk secara mandiri. Kedewasaan juga ditentukan dari sejauh mana orang mampu menilai secara kritis dan rasional apapun yang diterimanya dari dunia luar. Dengan kemandirian dan sikap kritis ini, orang bisa memutuskan dan bertindak secara tepat dalam konteks-konteks tertentu.

Di Indonesia kemandirian berpikir amatlah jarang ditemukan. Orang berpikir dengan menyandarkan diri pada tradisi yang sudah ada sebelumnya. Kemandirian berpikir sering dianggap sebagai pemberontakan yang mesti dilenyapkan. Tak heran individu tidak pernah sungguh menjadi dewasa, dan hanya menjadi bagian dari massa yang sifatnya sesaat dan tanpa tujuan yang bermakna.

Di Indonesia sikap kritis juga merupakan sesuatu yang langka. Orang tidak diajarkan ataupun dibiasakan untuk berpikir kritis. Justru orang lebih banyak dikondisikan untuk hidup dalam konformitas pendapat umum yang sesungguhnya tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa sikap kritis dan kemandirian berpikir, orang hanya ikut arus, dan mudah sekali disulut untuk melakukan kekerasan massa tanpa alasan yang cukup masuk akal.

Inilah salah satu penyakit bangsa yang perlu untuk “diobati”. Yang kita perlukan adalah kesadaran untuk berkembang menjadi individu yang sadar diri, dan mampu menjaga jarak dari opini umum, ataupun tekanan sosial yang tidak selalu bisa dibenarkan. Orang perlu untuk diajarkan untuk menelaah ulang apa yang dilihat, dibaca, atau didengarnya. Hanya dengan begitu mentalitas massa bisa dihindari.

Orang perlu diajarkan untuk beragama secara otentik, dan bukan sekedar ikut-ikutan. Orang perlu diajak untuk berproses di dalam pendidikan secara otentik dan unik, bukan hanya sekedar menjilat guru ataupun dosen, guna mendapatkan nilai yang tinggi. Orang perlu diajarkan untuk memeluk suatu profesi bukan karena paksaan sosial, tetapi karena panggilan terdalam dari jiwanya.

Cepat Lupa

Bangsa yang besar selalu ingat akan sejarahnya. Sejarah bukanlah sekedar kumpulan fakta, melainkan beragam peristiwa yang dimaknai untuk dijadikan fondasi bagi harapan masa kini dan masa depan. Sejarah berubah menjadi ingatan, yang kemudian mengendap menjadi identitas. Identitas bangsa dibentuk dalam kesadaran penuh akan makna dari peristiwa masa lalu.

Di Indonesia sejarah tidak dianggap penting. Beragam fakta diputarbalikkan untuk kepentingan penguasa. Akibatnya ingatan tidaklah terbentuk, karena apa yang tertulis dan terkatakan berbeda dengan apa yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat. Tanpa ingatan yang jelas dan tegas, identitas tidak akan pernah terbentuk. Bangsa yang cepat lupa pada akhirnya akan hidup tanpa identitas. Itulah yang terjadi di Indonesia.

Maka sebagai bangsa kita perlu untuk melakukan pelurusan sejarah secara bertanggung jawab. Prinsip utama adalah kedekatan pada kebenaran, dan sedapat mungkin menghindari pengaruh kekuasaan. Sejarah tidak boleh hanya berhenti pada kumpulan fakta, tetapi juga harus bisa memberikan makna pada apa yang kita alami saat ini, dan menjadi landasan harapan untuk masa depan.

Partai tanpa Ideologi

Di dalam masyarakat demokratis, semua inisiatif politik disalurkan melalui partai. Partai adalah basis ideologi dengan pendidikan politik yang bermutu untuk rakyat. Partai tidak hanya berfokus untuk merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan, tetapi juga untuk menegaskan, memperdalam, dan mempropagandakan ideologinya secara konsisten.

Di Indonesia partai politik mengaku punya ideologi. Namun dakuan itu tidak memiliki basis realitas. Ideologi partai sama semua, yakni pragmatisme dangkal, di mana segala upaya dipakai untuk mencapai tujuan merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan. Nama partai hanya hiasan untuk memikat rakyat, tanpa ada basis pemikiran dan ideologi yang jelas di belakangnya.

Dengan situasi partai politik semacam itu, inisiatif masyarakat tidak akan dapat tersalurkan. Para pimpinan bangsa tidak lagi terpilih karena kompetensi, tetapi karena tautannya dengan partai tertentu yang berkuasa. Demokrasi menjadi terhambat oleh kepentingan jangka pendek dan golongan tertentu yang berkuasa. Masyarakat menjadi frutasi karena tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara yang sepantasnya.

Yang perlu dilakukan adalah mempertegas ideologi partai politik yang ada. Ideologi perlu diperdalam basis teoritisnya, lalu dikembangkan penerapannya yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ideologi tersebut juga perlu dikembangkan untuk menjawab berbagai tantangan bangsa yang ada di depan mata. Hanya dengan begitu partai politik bisa menjadi jembatan rakyat menuju politik praktis yang berkeadilan.

Revolusi Paradigma

Ketujuh penyakit bangsa di atas haruslah dipandang sebagai masalah bersama. Untuk itu kita perlu mengubah cara berpikir. Kita perlu melihat masalah sebagai masalah, dan bukan sebagai sesuatu yang biasa. Hanya dengan begitu kita bisa mulai mengobati berbagai penyakit bangsa yang saya tuliskan di atas.

Di Indonesia apa yang saya tuliskan di atas belumlah dianggap sebagai masalah, tetapi sebagai sesuatu yang wajar. Tak ada keprihatinan yang cukup kuat untuk menciptakan gerakan sosial, guna mengubah keadaan. Masalah belum dilihat sebagai masalah, tetapi sebagai bagian dari rutinitas yang seolah tak bisa diubah. Kita tenggelam dalam lautan problematika bangsa, tanpa pernah merasa terjun sebelumnya.

Tujuh penyakit bangsa adalah penyakit kita semua. Kita yang menciptakannya dan kita semua yang memiliki tanggung jawab untuk menyembuhkannya. Yang kita perlukan adalah niat baja untuk mengubah keadaan, dan keterbukaan hati untuk menghadapi kemungkinan kegagalan. Selebihnya kita lihat saja… hidup punya caranya sendiri untuk mengatur kita..

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun