Mohon tunggu...
Reza Ahmad Wildan
Reza Ahmad Wildan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

email: ahmad.rezawildan@gmail.com Instagram: rezaahmadwildan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hamba Amatiran, Krisis Logika

19 Juni 2020   10:23 Diperbarui: 20 Juni 2020   11:30 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai peminat baca dan penikmat media sosial sejak tahun 2009, sepertinya saya merasa gusar sekali melihat kondisi akhir-akhir ini yang 'seperti katak dalam tempurung'. Tidak bisa dimungkiri bahwa opini publik yang mengemuka dewasa ini masih krisis logika yang benar dalam mengomentari setiap persoalan. 

Kecanggihan teknologi dan mudahnya akses data dan informasi di internet tidak diimbangi dengan literasi, daya kritis, dan penggunaan akal secara utuh, sehingga muncullah ujaran bahasa kebencian dan hoax -- seringkali berisi informasi sepotong-sepotong dan sangat riskan menimbulkan perdebatan hingga konflik sosial.

Terutama di media sosial bertebaran netizen 'primif' zaman now yang cara berpikirnya terbalik, amburadul (penganut paham 'simpulanisme' -- dismal science), menjurus ke ranah fitnah, dan mengadu domba. Semua itu sangat disayangkan, karena berbagai opini 'primif', 'ngawur' dan 'menyesatkan', yang tidak jarang juga diutarakan oleh -- yang mengaku tokoh publik, ustadz, dan akademisi -- yang idealnya pada setiap opini dan asumsinya memakai dasar logika yang benar (sistematis).

Bagi saya, membaca buku itu sangatlah penting, karena membaca merupakan salah satu cara seseorang berpikir. Bagaimana tidak dianggap penting, sementara kemampuan mendayagunakan akal dan berpikir itu sendiri banyak disebut sebagai ciri manusia, anugerah Tuhan paling berharga, dan fitrah manusia paling asasi.

Kualitas hidup seseorang dikatakan banyak ditentukan oleh bagaimana cara dia berpikir. Bukankah para pahlawan lahir dari cara berpikirnya yang besar? Dan bukankah pula para ilmuwan dan cendikiawan nasional hingga internasional mengubah wajah bangsanya dan dunia menjadi luar biasa karena bekal pemikiran dan hasil aktivitas berpikir yang serius?

Bagaimana tidak dianggap penting, sementara peradaban manusia berkembang mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan tidak akan lahir dan berkembang tanpa adanya kemampuan berpikir yang mapan dari manusia? Berpikir dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada ilmu apapun yang tidak berbasis proses berpikir yang benar. Proses berpikir yang benar tidak akan terjadi jika masih krisis logika.

Berpikir dan pendayagunaan akal bersifat bebas (eksistensial) dalam diri manusia. Hidup kita detik demi detik, disadari atau tidak, percaya atau tidak, didukung-ditemani-diwarnai oleh kerja akal. Kerja manusia, dari yang paling awal hingga paling kompleks adalah kerja akal. Maka semua upaya -- termasuk menulis artikel ini -- dimaksud untuk menuntun dan menunjukkan teknik dan cara mendayagunakan akal dan berpikir yang benar.

Berpikir yang benar adalah sumber perilaku yang benar dan sekaligus akan membuahkan budaya hidup yang benar. Saat berpikir dengan benar, kita menggunakan daya rasional kita secara efektif untuk sampai pada pendapat atau posisi yang paling mendekati kebenaran dan ketepatan. Saat kita tidak berpikir benar, kita akan dengan mudah membuat keputusan yang tidak masuk akal atau meyakini sesuatu yang tidak masuk akal atau mengambil tindakan yang tidak beralasan kuat, meski kadang kita beruntung dan 'kebetulan' sampai pada 'kebenaran'.

Meskipun demikian, saat kita sendiri berpikir, sering kali apa yang kita pikirkan bersifat bias, ambigu, tidak mempunyai arah yang jelas, tidak jarang emosional atau terkesan egosentris (mengutamakan kepentingan sendiri). Orang-orang yang menguasai berpikir benar (dalam arti tidak krisis logika), maka cara berpikirnya sistematis, argumen-argumennya memukau, retorikanya rapi, dan tidak jarang saya dibuat kagum oleh mereka-mereka (baca: Ilmu Mantik: Panduan Mudah dan Lengkap untuk Memahami Kaidah Berpikir).

Oleh karena itu, saya suka kecewa dan sangat heran ketika ada orang yang terlihat seperti 'hamba amatiran' atau 'primitif' dalam berpikir, sangat krisis logika. Lebih sial lagi, 'hamba amatiran yang primitif' ini lebih mudah memahami dan menyebarluaskan hakikat 'simpulan' daripada 'analisis', sehingga berimplikasi kepada informasi-informasi yang 'subhat' atau penyesatan informasi, ibarat indah kabar dari rupa -- informasi yang dilebih-lebihkan dan dibungkus indah, padahal informasi tersebut sudah tidak sama dengan yang sebenarnya terjadi (baca: Netizen Primitif Zaman Now).

Saya bisa pastikan, bahwa orang-orang memiliki pandangan seperti itu, pasti krisis logika dan tidak pernah membaca buku, sehingga kerap mengedepankan sentimen kebencian daripada nalar logika, menyebarkan kebencian berbasis informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Sebabnya bisa banyak, salah satu di antaranya adalah cara berpikir mereka yang kacau, cara berpikir yang tidak sistematis, pemaknaan mereka yang salah kaprah terhadap beberapa istilah, kekeliruan dalam mengambil kesimpulan, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun