Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berlindung di Balik "Privilage"

15 Oktober 2021   08:57 Diperbarui: 15 Oktober 2021   09:53 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Photo by The Lady MusGrave Trust

Sebagian masyarakat menganggap seseorang yang punya privilage merasa tidak perlu capek-capek berusaha. Selain itu, kelompok yang memiliki privilese merasa bahwa kemiskinan berakar dari kurang kerja keras dan diam karena tidak ada aksi. Meski sekeras apapun berjuangnya mereka tetap menyangkal untuk mengakui keistimewaan yang dimiliki. 

Fakta menunjukkan bahwa status ekonomi masih menjadi parameter dalam menentukan garis hidup seseorang. Selanjutnya individu yang merasa enggan untuk mengakui hak istimewanya merasa bahwa mereka cenderung diuntungkan dari ketidakadilan yang terjadi. Dengan demikian hal ini bisa menimbulkan penilaian negatif individu, baik tentang dirinya maupun kelompoknya.

Seorang individu yang mengakui bahwa ia memiliki privilege tidak langsung menyangkal begitu saja. Salah satu cara yang dianggap menolak untuk mengakui keistimewaannya yaitu dengan menggunakan narasi kemujuran. Kondisi ini dibuktikan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Singapura di University of Oxford dan Cambridge pada tahun 2020. 

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan narasi luck terdengar lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan narasi kerja keras yang menjurus pada dirinya sendiri. Tentu, semua manusia punya derita hidupnya masing-masing. Bagi orang yang memiliki privilage terkadang juga merasa tidak nyaman dengan perkataannya. Kesengsaraan yang dimiliki kelompok berprivilese sama-sama valid dan penting untuk dipahami.

Privilage dari Sudut Pandang Sosiolog
Dalam ilmu sosial, kita mengenal adanya sebutan assigned status dan ascribed status yang pernah dikemukakan oleh Ralph Linton. Nah, sebutan privilage ini mengarah kepada assigned status atau status yang melekat pada seseorang atas golongan tertentu misalnya dia lahir dari keturunan bangsawan atau para raja-raja, lahir dari keluarga kaya dan golongan elit. Mungkin saja, orang-orang yang memiliki privilage ini dia sudah dikaruniai berkah yang melimpah dari orang tuanya. Sementara golongan ascribed status merasa usaha yang diusahakan tidak ada kaitannya dengan status atau hubungan keluarganya.

Pada kenyataannya, seseorang yang memiliki privilage dalam kehidupan ini memang ada. Kalau mau jadi tim yang mendang-mending ke orang lain, rasa-rasanya setiap dari kita ini sebenarnya juga ada hak istimewanya masing-masing. Contohnya adalah ada seseorang yang sukses berkat relasi dan kenalan orang tuanya, pencari kerja berhasil lolos rekrutmen kerja berkat orang dalam, ada juga yang memang dia lahir dari golongan orang tua kaya yang sudah bergelimang harta. Hartanya dikeruk ga habis-habis. Kaum manusia yang memiliki privilage diibaratkan seperti pepatah "yang kaya makin kaya, yang punya nama lebih diperhatikan". Karena memang kelihatannya orang yang memiliki privilage, seseorang memperoleh haknya secara sepihak.

Berbicara soal privilage, rasanya hidup seakan tidak adil. Berkat privilage maka urusannya lancar, dipermudah sana-sini dan lain-lain. Ya kalau boleh dibilang jika terus-terusan dibanding-bandingkan ya memang rasanya hidup memang tidak adil kalau berhadapan dengan orang-orang yang memiliki privilege. Tapi soal meraih kesuksesan, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menggapainya. 

Mengutip dari perkataan Oprah Winfrey, bahwa punya hak untuk menentukan sendiri pilihan atas jalan hidup kita adalah sebuah privilage yang sakral. Memang tidak semua orang itu dilahirkan dari keluarga yang kaya dan duitnya banyak gak habis-habis, tidak semua orang juga lahir dari keluarga terpandang dengan statusnya yang bikin keturunan cucu-cicit-cucutnya merasakan gelimang hartanya. Tetapi setiap manusia bebas kan menentukan jalan hidupnya sendiri? Tanpa ada paksaan dari siapapun. Menurutku itu sudah lebih dari cukup kan?


“Being privileged doesn't mean that you are always wrong and people without privilege are always right. It means that there is a good chance you are missing a few very important pieces of the puzzle.”
― Ijeoma Oluo, So You Want to Talk About Race

Soal selebgram tadi juga menyiratkan adanya sebuah anggapan bahwa seakan-akan dia memiliki privilege karena dia berhasil kabur dari karantina. Tindakan ini seakan menyiratkan kalau "aturan berlaku untuk dilanggar". Padahal sudah jelas-jelas aturannya dibuat untuk dipatuhi demi kepentingan bersama. 

Menurut Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 18 Tahun 2021 mengatur bahwa penumpang yang baru tiba dari luar negeri wajib melakukan karantina selama 8 x 24 jam. Oleh karena itu, sudah seharusnya untuk bisa bersikap taat terhadap peraturan.  

Walaupun yang bersangkutan sudah melakukan permintaan maaf secara pribadi di instagram story, tetapi masyarakat menganggap permintaan maaf yang dilontarkan tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada aturan pun ada juga konsekuensi yang harus ditanggung akibat tabiatnya yang ia lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun