Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengulik Feminisasi Pertanian, Andil Perempuan dalam Aktivitas Pertanian

14 Oktober 2021   12:35 Diperbarui: 14 Oktober 2021   12:38 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani Perempuan. Photo by The Hindu


Keberhasilan kinerja pertanian tentunya tidak terlepas dari keterlibatan peran perempuan yang bekerja di sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Posisi perempuan memiliki porsi yang dipandang lebih banyak berkontribusi ketika para lelaki memutuskan untuk meninggalkan ladang dan beralih pekerjaan dari pertanian ke non-pertanian karena dipandang lebih terjamin dan gajinya besar apalagi merantau ke luar negeri demi mencari pekerjaan dan hidup yang mapan. Perempuan nyatanya memiliki andil yang besar dan berjaya di lahan sendiri. Di bidang pertanian, perempuan terlibat dalam setiap tahapan budidaya mulai dari kegiatan persiapan lahan, penanaman, mencabut gulma, penyiraman, menyiapkan makanan hingga panen dan pascapanen. Bahkan, perempuan memiliki peran ganda baik sebagai ibu rumah tangga di rumah maupun sebagai petani di ladang ataupun buruh tani.

Dilansir dari sebuah survei Pertanian Antar Sensus pada tahun 2018 menyebutkan jumlah petani perempuan di Indonesia sekitar 8 juta orang. Dimana, 24 persen dari keseluruhan petani sebanyak 25,4 juta orang petani adalah petani perempuan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang terlibat dalam sektor pertanian cukup besar. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya isu feminisasi pertanian karena andil perempuan yang menjadi tulang punggung pertanian negara. 

Isu feminisasi pertanian muncul akibat jumlah perempuan tani meningkat akibat ladang telah ditinggalkan oleh para laki-laki dan memutuskan untuk melakukan migrasi demi mencari penghidupan yang lebih layak di kota atau luar negeri daripada pekerjaan sebelumnya. Selain itu, perempuan dinilai telah siap apabila sudah memiliki pengetahuan dan modal keterampilan yang cukup seperti laki-laki di lahan. Ketika perempuan tani sudah siap maka ia berhak andil untuk terlibat dalam setiap keputusan yang diambil berkaitan dengan proses produksi pertanian. Marilah kita akan bahas lebih lanjut terkait dengan isu feminisasi pertanian yang sedang happening saat ini.

Isu Feminisasi Pertanian
Feminisasi pertanian merupakan fenomena dimana terjadi peningkatan partisipasi perempuan yang aktif dalam kegiatan sektor pertanian dengan mengambil alih kendali dan tanggung jawab yang sebelumnya dominan dikerjakan oleh laki-laki. Mencuatnya isu feminisasi pertanian ini diakibatkan oleh terbukanya kesempatan kerja laki-laki di sektor non-pertanian (misalnya: industri) yang dirasa lebih menguntungkan daripada bekerja di sektor pertanian. Sementara perempuan mengurus rumah tangga dan lahan pertaniannya.

Hampir di berbagai negara telah terjadi adanya fenomena feminisasi pertanian ini Di negara-negara Amerika Tengah hanya 10 persen wanita pedesaan yang aktif bekerja di bidang pertanian sementara 86 persen di Bolivia, 70 persen di Brasil, dan 43 persen di Paraguay bekerja di pertanian. Di Indonesia pun juga terjadi adanya pergeseran kendali lahan pertanian oleh perempuan yaitu fenomena feminisasi pertanian. Kepercayaan perempuan untuk mengurus segala hal dalam bidang pertanian nyatanya telah ada sejak lama dalam kehidupan manusia. Saat masa berburu dan meramu, perempuan telah dipercayakan untuk mengolah tanah demi menghasilkan makanan. Sedangkan laki-laki bertugas untuk berburu.

Pada masa itu, status perempuan dinilai memiliki status sosial lebih tinggi di kalangan masyarakat karena dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Kemudian, laki-laki yang saat itu berburu ketika melihat pekerjaan perempuan merasa pertanian dipandang lebih menguntungkan dan terhindar dari serangan binatang buas sehingga laki-laki berhenti berburu dan pekerjaan mengolah tanah dialihkan oleh laki-laki. Sejak zaman kerajaan di Nusantara, partisipasi perempuan juga memberikan andil yang besar dalam kegiatan pertanian terutama dalam subsistem produksi. Dimana kegiatan produksi pertanian yang dilakukan dipengaruhi oleh jenis agroekosistem dan status sosial ekonomi rumah tangga.

Namun ketika masa orde baru, ide tentang revolusi hijau mulai muncul. Ide ini merupakan pengejawantahan dari pandangan developmentalisme yang menjadi dasar perekonomian pemerintahan presiden Soeharto. Revolusi hijau merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi pertanian menggunakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Pada masa ini Indonesia mampu menduduki predikat sebagai macan Asia karena keberhasilannya dalam swasembada pangan. 

Tetapi dibalik itu, petani perempuan menjadi kaum yang termarjinalisasi dan terpinggirkan karena dampak revolusi hijau mengubah struktur sosial masyarakat. Revolusi hijau membuat peran kerja perempuan yang dulunya dipercaya untuk memilih benih, menyiangi, menanam, memupuk, memanen hingga menumbuk padi digeser dan digantikan oleh peran teknologi. Setelah revolusi hijau berakhir, petani perempuan saat ini menjadi asing dengan pekerjaan pertanian terutama karena sulit beradaptasi dengan modernisasi di bidang pertanian.

Perempuan melakukan lebih banyak kendali dalam kegiatan pertanian tampaknya memiliki lebih banyak kelemahan daripada manfaat bagi perempuan. Hal ini ditandai dengan perempuan belum juga mendapatkan pendidikan maupun fasilitas penyuluhan selayaknya petani laki-laki. Jarang terlihat dalam sebuah pertemuan atau forum tani oleh kelompok tani adanya keterlibatan perempuan maupun kegiatan penyuluhan yang melibatkan perempuan. 

Padahal sejatinya ketika perempuan sudah mulai turun ke lahan seharusnya juga mendapatkan fasilitas yang sama seperti laki-laki seperti penyuluhan. Sebenarnya feminisasi pertanian tidak akan menjadi problem kalau misalnya perempuan tani sudah punya “modal” yang cukup untuk mengelola lahan pertaniannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun