Mohon tunggu...
Reyne Raea
Reyne Raea Mohon Tunggu... Penulis - Blogger Influencer Surabaya

Panggil saya Rey, mom blogger di reyneraea.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Kehilangan Membuat Trauma dalam Mengasuh Anak

8 Juli 2019   07:00 Diperbarui: 8 Juli 2019   07:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita yang menjadi top trending di Google sejak kemarin, membuat saya kembali teringat hal menyedihkan, yang sudah lama tertanam di hati saya yang paling dalam.

Bukan.. Bukan sengaja melupakannya, tapi perlahan tapi pasti dia menghilang dari ingatan, dan itu membuat saya bahagia. Meskipun saya teringat lagi seperti sekarang, rasanya, sakit karena patah hati itu kembali menyeruak.

Misteri Kepergian Adik Secara Tiba-Tiba

Sore itu, Kamis 5 Agustus 1999, adik saya (11 yo) pulang dari bermain dengan berwajah murung, mama menyapanya dan menyuruhnya mandi. Adik langsung mandi, namun setelah mandi dia tetap berwajah murung. Mama mendekatinya dan menyentuh dahinya, ternyata badannya sedikit demam.

Seperti biasa, jika anak-anaknya sakit, mama langsung menyuruhnya istrahat dan dikelonin sampai tertidur, tentunya setelah meminum obat penurun panas terlebih dahulu.

Sayapun ikut tertidur di sampingnya, namun terbangun di tengah malam karena mama membangunkan saya.

"Bangun nak, tolong jaga adikmu, mama mau panggil dokter, adikmu koma"

Saya segera terbangun dan kebingungan, sungguh tidak mengerti apa itu koma?, mengapa adik koma?, padahal dalam pengamatan saya adik sedang tertidur dengan tenang.

Beberapa menit kemudian, dokter datang, lalu memeriksa sejenak. Tak berapa lama, mama meminta saya packing baju adik dan mama, karena adik bakal dirujuk langsung ke rumah sakit umum.

Sayangnya, baru saja adik diangkat ke mobil, tubuhnya dibawa masuk lagi. Saya makin kebingungan,

"Adik sudah pergi" Kata mama.

Hah? kenapa? karena apa?

Baru saja, kemarin sore adik saya bersepeda keliling kampung bersama teman-temannya. Masih segar bugar dan tertawa-tawa. Sekarang dia sudah pergi? Benarkah itu? Jangan-jangan mama salah melihatnya?

Bukan hanya keluarga kami yang shock berat. Mama menghabiskan waktu seminggu untuk menangis dan tidak mau makan sama sekali. Sampai akhirnya lewat seminggu mama berangsur mulai menerima keadaan, dan mulai mencari tahu apa penyebab meninggalnya adik saya.

Rasa Takut Berbicara Jujur Berakibat Fatal 

Singkat cerita, kami akhirnya mendapat cerita dari teman-teman adik saya, katanya Kamis sore itu mereka bermain di dekat pohon kelapa, karena bercanda adik saya malah mencoba memanjat pohon kelapa tersebut, dan dia jatuh.

Karena takut dimarahi, adik saya tidak berani bicara jujur ke orang tua, bapak saya memang dulu super galak terhadap kami, mamapun juga sering bersikap berlebihan jika kami membicarakan hal yang kurang mengenakan yang kami alami.

Sayangnya, tidak ada satupun temannya yang bisa memberikan keterangan detail seperti apa jatuhnya? sehingga kami hanya bisa menerka-nerka kalau penyebab meninggalnya adalah karena jatuh tersebut.

Meskipun kami kurang yakin, karena di jasad adik saya, cuma ada luka lecet di bagian dagu, tidak ada sama sekali darah yang keluar dari panca indranya, bahkan setelah dia meninggal.

 Demikianlah, adik saya pergi membawa misteri bagi kami, sekaligus trauma mendalam dan melekat di hati kami semua. Orang tua kami yang menyesali semua reaksi berlebihan terhadap kejujuran anak.

Dan juga saya, yang tumbuh menjadi dewasa dan menjadi seorang ibu dengan segala keparnoannya.

Mengasuh Anak Dengan Rasa Trauma Takut Kehilangan

Karena hal tersebut, saya sungguh harus menahan hati yang berdetak kencang saat anak saya meminta izin bersepeda bersama teman-temannya meski hanya di sekitar kompleks saja.

Saya takut dan teringat kembali akan adik saya dulu. Terlebih, saat saya hamil dulu, anak saya pulang dari bersepeda sambil diantar satpam kompleks dan mulutnya penuh darah.

Karuan saja saya shock dan panik, hingga perut saya jadi kaku dan kontraksi.

Sejak saat itu, makin bertambah lagi level keparnoan saya, dan harus menahan hati yang deg-degan, berperang dalam hati, antara membiarkan anak bersosialisasi di luar, berbanding rasa trauma saya yang menginginkan anak di rumah saja.

Tapi, saya harus bangkit.

Tidak boleh terus menerus dalam trauma mendalam, yakin bahwa Allah-lah sebaik-baiknya tempat berlindung, dan Allah akan melindungi anak-anak saya selalu, aamiin.

Meskipun, setiap kali membaca berita duka, saya semacam terbawa secara paksa ke masa lalu, saat adik saya pergi dengan tiba-tiba tanpa pesan dan membawa misteri hingga kini.

Reyne Raea

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun