Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Inilah Pemikiran yang Seolah Benar, Namun Ternyata Salah

17 Januari 2022   01:15 Diperbarui: 17 Januari 2022   01:48 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berpikir (Sumber: bebaspedia.com)

"Apabila ahlul bathil itu bersikap melampaui batas terhadap ahlul haq dengan (cara) mencela, memburukkan rupa, dan mendatangkan berita-berita dusta, serta memuji-muji ahlul bathil, maka tidak ada pilihan bagi ahlul haq kecuali menghancurkan ahlul bathil. Demikian juga menjelaskan kedzaliman dan kedustaan tuduhan mereka, serta membongkar kebathilan-kebathilan mereka." ~Syaikh Dr. Rabi' bin Hadi al-Madkhali

Ide tulisan ini sebenarnya muncul tatkala saya mendengar statement salahseorang yang berpandangan bahwa kita harus tetap netral, tetap berusaha ditengah untuk tidak menghujat, atau pun mengata-ngatai orang yang kita pikir salah.

Karena menurutnya pada saat kita mengklaim bahwa diri kita sedang berada di posisi yang benar dan meyakini bahwa kita sedang menyampaikan kebenaran, maka orang yang kita nilai salah disebrang sana pun sedang melakukan hal serupa sebagaimana yang kita lakukan dan yakini.

Jadi dia menilai, kita tidak perlu-lah sampai menghujat, memberikan rasa ketidaksukaan atau paling tidak menegur orang yang kita nilai salah itu. Bahkan dia berpikir kita perlu menghormati apa yang menjadi "kebenaran" lawan kita itu, meskipun dimata kita terbukti orang tersebut telah melakukan penyimpangan.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk bisa memahami jalan pikirannya. Mungkin dia bermaksud mengingatkan saya agar tidak terjebak pada dikotomi. Saya bisa mengerti apa maksud dan tujuan dari statement nya itu. Yang secara tidak langsung menggiring saya untuk bersikap "netral" dan "bijaksana".

Sayangnya dia telah keliru bahwa pikiran saya sebenarnya sudah lebih dulu tahu bahwa kita perlu keluar dari dualisme agar tidak buta. Dan kita perlu melampaui dua hal yang bertentangan agar dapat melihat kebenaran secara utuh.

Saya amat sangat tahu dan paham mengenai itu dan sudah sejak lama mempelajarinya karena saya termasuk orang yang senang berfilsafat. Namun kebijaksanaan yang "dipaksakan" seperti itu justru akan mengantarkan kita pada situasi "kebingungan" dan "kebijaksanaan semu" yang hanya mengenyangkan akal sesaat.

Sobat, tidak ada yang salah dengan menjadi "bijaksana" dan selalu netral dalam setiap pertentangan. Namun salah penempatan karena tidak pandai melihat situasi dan (konteks) pertentangan yang sedang terjadi, bisa dengan sekejap "membatalkan" kebijaksanaan kita itu.

Disatu sisi kita memang perlu menjadi bijaksana, tapi disisi lain kita juga perlu sedikit ada dalam ruang dikotomi dan sedikit memihak serta memposisikan diri dengan jelas tentang apa yang menjadi pendirian dan kebenaran yang kita yakini.

Kalau kita berbicara kebenaran, benar itu memang relatif. Dalam ilmu logika misalnya dijelaskan bahwa benar itu merupakan persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Jadi apabila ada kesesuaian yang terjadi antara pikiran dan kenyataan, maka itu benar nilainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun