Mohon tunggu...
Aditya Rey
Aditya Rey Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Freelance

Mahasiswa Hubungan Internasional UINSA Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Keamanan Pola Pikir Kunci Anti-Radikalisme?

4 Juli 2021   05:14 Diperbarui: 4 Juli 2021   06:04 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
serangan bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar ( (Foto: AFP/INDRA ABRIYANTO)

Dewasa ini, fenomena radikalisme sering diangkat di ranah publik dan diperbincangkan banyak khalayak. Hal demikian disebabkan banyak yang beranggapan bahwa radikalisme adalah faham yang menjadi cikal bakal adanya terorisme. Sedangkan terorisme sendiri menjadi bentuk implementasi dari radiklasime itu sendiri. Namun bukan berarti seluruh paham radikal itu mengarah pada terorisme. Terorisme memiliki kecenderungan aktivitas yang mengganggu dengan serangan dari kelompok non pemerintahan. Menurut survei yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) tahun lalu, menyatakan bahwa indeks potensi radikalisme di Indonesia sebesar 14.0 dalam skala 0-100 dan mengalami penurunan drastis dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 38.4 dengan skala yang sama. Namun bukan berarti dalam masa pandemi seperti ini angka tersebut akan terus menurun, hal ini terbukti dengan adanya bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar.

Terorisme dapat didefinisikan sebagai kekerasan dengan bermotivasi politik oleh kelompok-kelompok kecil (Rubenstein 1974), kekerasan terselubung oleh kelompok untuk tujuan politik (Laqueur 2001), kekerasan politik yang mencakup “climate of terror” (Wilkinson 2003), dan “synthesis of war and theater...perpetuated on innocent victims...in the hope of creating a mood of fear, for political purposes” (Sisir 2003). Oleh karenanya, kejadian demikian pasti mengakibatkan trauma bagi sebagian orang dan berharap terhindar dari terorisme. Banyak masyarakat yang mengamankan dirinya dengan menjauhi tempat-tempat publik agar kejadian yang sama tidak terjadi pada mereka. Namun tidak sedikit pula masayarakat yang membenci orang-orang dengan paham radikal yang menjadi cikal-bakal  terorisme, akan tetapi tindakan demikian tidak bisa dibenarkan. Hal itu disebabkan paham radikal dan terorisme adalah dua hal yang berbeda, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Fenomena radikalisme seperti itu jauh dari arti radikal secara epistimologis yang berarti mengakar, jika diimplementasikan pada agama, maka hal itu berarti pemahaman akan agama yang mengakar hingga sumbernya-Tuhan atau Nabi. Akan tetapi radikalisme di sini radikalisme diarahkan pada sebuah aliran atau suatu paham yang dihubungkan dengan pemikiran yang ekstrem akan perubahan besar, sekaligus mengarah pada terorisme sebagai implementasinya.

Dalam era modern sekarang, terutama di Indonesia, radikalisme lebih cenderung mengatasnamakan Islam. Kelompok seperti itu mengatakan bahwa ajaran mereka yang paling benar, dan aksi terorisme seperti bom bunuh diri, dikemas untuk para pengikutnya sebagai tindakan mulia melawan para kelompok di luar anggota mereka dan terutama agama lain. Pernyataan umum yang ada di tengah masayarakat adalah mereka yang sengaja mengikuti terorisme dan paham radikal berkecenderungan dari ekonomi kelas bawah. Akan tetapi hal demikian dibantah ketika bom bunuh dari yang dilakukan oelh satu keluarga di Surabaya memiliki latar belakang ekonomi yang bagus. Tendensi utama dari bom bunuh diri tersebut adalah jaminan surga dari kelompoknya.

Di sisi lain, masyarakat yang sudah memegang paham radikal kerap tidak menyadari bahwa pemahaman mereka itu berbahaya dan salah di mata publik. Hal ini mengarah pada klaim kebenaran pada ajaran mereka, kemudian menepis bahwa argumen atau paham lain di luar pahamnya adalah kekeliruan, meskipun kekeliruan yang ada terdapat pada dirinya. Secara tidak langsung hal ini mengarah pada penggiringan opini atas kebenaran tersebut yang diterima oleh para pemeluknya-terlepas dari para petinggi yang memiliki indikasi lain. Secara tidak langsung pula, anggota dari kelompok radikal tersebut tidak tau akan apa yang mereka ikuti dan telah tergiring pada klaim kebenaran sepihak.

Melihat kejadian demikian, masyarakat harus bisa memahami bahwa klaim kebenaran menjadi awal dari adanya radikalisme. Namun bukan berarti semua klaim kebenaran mengarah pada radikalisme, akan tetapi yang mengarah pada tindakan ekstrem ataupun bersifat destruktif. Tentu saja dalam mengatasinya diperlukan banyak pengetahuan serta logika yang benar dalam mengatasi hal demikian, sebab dalam praktiknya, aliran radikalis menyebar dengan penggiringan opini akan kebenaran yang mereka percayai. 

Secara tidak langsung, masyarakat yang menjadi korban dari radikalisme itu diarahkan pada kebenaran yang samar, namun diyakinkan bahwa hal tersebut adalah kebenaran yang nyata dan tidak mudah ditemukan. Bisa juga masyarakat digiring pada sebuah opini tertentu dan mengatan bahwa mereka adalah golongan atau kelompok pilihan. Setelah masayarakat masuk ke dalam kelompok atau golongan tersebut, maka besar kemungkinan mereka melakukan terorisme yang mempunyai tujuan untuk spread fear and anxiety (terror) yang sangat-sangat diagungkan dalam aksi mereka.

Masyarakat tentu saja tidak bisa terus-terusan menuntut pemerintah untuk mengatasi kejadian demikian, meskipun pemerintah sudah seharusnya bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Diperlukan kesadaran dan bantuan masyarakat dalam penanggulangan terorisme untuk keamanan bersama. Sebab terorisme yang berasal dari paham radikal sulit dideteksi dan terus bertambah.

Masyarakat sendiri juga kesulitan mengidentifikasi seseorang yang masuk kelompok teroris atau tidak, apalagi melaporkannya pada pihak berwajib tanpa bukti yang jelas.  Keamanan masyarakat bisa terjaga dari aktivitas terorisme, jika masyarakat tidak menjadi bagian dari terorisme itu sendiri, dan menghindari paham radikal yang mengarah pada kegiatan ekstrim dan bersifat destruktif atau merugikan banyak orang hingga menghilangkan nyawa. Namun terorisme itu tetap berlangsung, sebab sudah pasti terorganisir dan tidak dikehendaki oleh satu orang semata.

Hal yang bisa dilakukan masyarakat adalah menjaga pola pikir untuk tetap sehat dan tidak mudah tergiring opini meskipun dalam ranah digital. Pengetahuan akan agama juga tidak bisa dipahami setengah-setengah tanpa adanya pembenaran dari para ulama. Masyarakat bisa juga melepas giringan opini jika sudah mengarah untuk menyalahkan agama lain dan menyatakan bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan menolak keras pluralis dengan argumen demikian.

Selain itu, masyarakat bisa melakukan deradikalisasi, yakni dengan melakukan orientasi pada diri sendiri ataupun kelompok terhadap sosial kognitif dan masuk di dalamnya. Sebab jika dalam klaim kebenaran itu terdapat hal yang merugikan banyak orang dan menghilangkan nyawa dalam kondisi biasa atau normal, maka berkemungkinan besar individu atau kelompok masyarakat tersebut terindikasi berpaham radikal dan tidak menutup kemungkinan untuk mengarah pada terorisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun