Mohon tunggu...
Al Iklas Kurnia Salam
Al Iklas Kurnia Salam Mohon Tunggu... Guru - Kata bukanlah sekedar rangkaian huruf. Kata menyimpan makna yang di dalamnya bisa mengubah hati seseorang

Pemikiran yang tersebunyi layaknya mutiara yang terbalut lumpur. Tidak mampu mempesona dan tidak akan bernilai apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membunuh

19 September 2018   07:54 Diperbarui: 19 September 2018   08:25 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya membunuh diperbolahkan agama, pasti dari dulu saya sudah membunuh. Saya sudah menyiapkan daftar nama-nama musah saya. Saya membentuk daftar nama ini berdasarkan dendam pribadi dan dosa mereka pada saya. Saya benar-benar muak. Saya sudah tidak perduli lagi jika harus masuk penjara. Saya benar-benar dendam dan marah pada manusia-manusia laknat ini.

Orang pertama yang ingin saya bunuh adalah Lurah Karto. Ia adalah penyebab semua masalah di keluarga saya. Bujukan, rayuan, bahkan ancaman Lurah Karto pada bapak berujung tragis. Bapak jadi gampang sakit-sakitan. Bapak jadi banyak musuh. Bapak juga dikucilkan oleh-orang-orang sedesa. Penyebabnya hanya masalah sepele. Bapak tidak mau menjual sepetak rumah dan sejengkal sawahnya untuk dijadikan bandara. Bapak diintimidasi dan dijadikan bahan bercanda. Bapak yang hatinya peka, tidak tahan dan akhirnya meninggal. Masih terngiang ditelinga saya nasihat dan wasiat bapak.

Bapak tidak mau menjual rumah dan tanahnya karena sebab-sebab ideologis. Bapak mengganggap rumah dan tanah bukan hanya benda mati. Rumah dan tanah adalah puasaka keluarga. Darinya, kita mengenal dan diperkenalkan pada dunia. Darinya, kenangan, sejarah, dan identitas keluarga terbentuk. Maka, tak ada satupun alasan bagi bapak untuk menjual rumah dan tanahnya. Sekalipun ancaman dan hinaan datang tidak kepalang. Bapak tidak bergeming. Kata bapak sebelum meninggal:" tidak ada satupun harta di dunia yang mampu membeli identitas dan harga diri kita sebagai petani. Jagalah itu baik-baik baik dan jangan tukarkan dengan apapun juga.

Lalu, orang kedua adalah mbok Tini, ibu tiri saya. Saya benar-benar benci pada dia. Menyebut namanya saja saya tidak mau. Apalagi harus bercengkrama dan beramah-tamah dengannya. Cuuuuiiiihhhh. Najis. Tidak sudi saya. Semenjak ada proyek pembangunan bandara, mbok gendut itu berubah. Ia terpengaruh oleh bujukan Lurah Karto. Ia jadi semakin matrealistis. Mbok lenjeh itu ingin hidup enak tanpa kerja. Ia ingin menikmati uang ganti rugi yang konon katanya berharga tiga kali lipat dari harga jual yang semestinya. Ia selalu merengek pada bapak untuk menjual tanah dan rumahnya. Akhirnya, rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk istirahat bagi bapak dan saya. Rumah hanyalah tempat lain bagi teror pembangunan bandara.

Selanjutnya adalah dek suminah. Dek suminah adalah penghianat cinta. Dek suminah lebih suka menjual tanah dan rumahnya untuk pergi meninggalkan desa daripa menerima lamaran saya. Saya kutuki dia saat ia mendatangi rumah Lurah karto dengan membawa surat-surat berharganya. Saya juga maki-maki dia sebagai sundal bandara. Tapi suminah tidak perduli. Ia tetap melengos pergi membawa harapan dan cinta sejati saya.

Padahal, saya dan suminah pernah berjanji untuk hidup setia sampai mati. Kami bermimpi untuk membangun rumah mungil disamping rumah bapak, dengan bekerja sebagai sepasang petani. Kami akan menanam semua tanaman yang kami sukai. Cabai, bawang, kobis, kentang, dan buah-buahan. Kami akan besarkan anak-anak kami dalam semerbak wangi kebun dan merdunya suara seruling. Tapi impian itu sudah sirna. Suminah, si sundal bandara itu telah pergi membawa cintaku selamanya.

Lalu, aku juga ingin membunuh RT Wulung beserta seluruh keluarganya. Merekalah biang kerok dan provokator dalam masalah kami. Merekalah yang selalu mencekoki orang-orang desa dengan fitnah keji. Kata RT Wulung, bapak mendapat uang satu milyar dari LSM agar orang-orang tidak mau menujual tanahnya untuk dijadikan bandara. Sungguh, itu adalah finah terkeji yang penah saya dengar tentang bapak. Bapak tidak ngerti politik. Bapak juga bukan aktivis organisasi. Bapak hanya orang biasa yang berusaha menegakkan prinsi-prinsip hidupnya.

Terakhir, jika mungkin, saya ingin membunuh negara Indonesia. Sebab, saya percaya darinyalah semua penderitaan bermula. Negara dengan seluruh aparat galaknya, telah membuat bapak mati. Negara punya alat-alat pemaksa yang paling kejam dan efektif. Negara membuat kelurga kami kelilangan rumah dan tanah. Aku ingin membunuhnya jika mungkin dan jika tidak menimnbulkan dosa.

Cilacap 3 Syawal 1439 Hijriah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun