Mohon tunggu...
Retty Hakim
Retty Hakim Mohon Tunggu... Relawan - Senang belajar dan berbagi

Mulai menulis untuk portal jurnalisme warga sejak tahun 2007, bentuk partisipasi sebagai warga global.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertemu Kompasiana di Memoar Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro

12 September 2021   10:09 Diperbarui: 12 September 2021   12:01 2328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menemukan kisah tulisan di Kompasiana 26 April 1969 (foto: Retty)

Kalau orang mencari kata Kompasiana di laman internet saat ini, tentunya akan muncul Kompasiana daring, sebuah blog bersama, media warga di dunia maya. Blog yang namanya diusulkan oleh Budiarto Shambazy ketika awal dimunculkan sebagai blog jurnalis, mengambil nama kolom khusus yang dahulu dibuat oleh pendiri Kompas, P.K. Ojong. Ternyata, saya menemui kolom Kompasiana, 26 April 1969, di halaman 74 buku "Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa" dari Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro.

Tulisan yang masih menggunakan Ejaan Lama Bahasa Indonesia itu berkisah tentang "success story" seorang putera Indonesia dan perlunya dukungan negara untuk riset ilmiah agar intelektual yang sukses di luar negeri bisa kembali dan berkarya di Indonesia. "Seorang pembaca menulis...," demikian pengantar kolom itu sembari membagikan artikel dalam kutipan bercerita. 

Pembaca itu rupanya adalah Wardiman Djojonegoro (hal 70 Sepanjang Jalan Kenangan), dan intelektual muda yang dikisahkan adalah B.J. Habibie. Inti utama pesan tersebut sebenarnya masih sangat berguna untuk masa kini. Perlunya dukungan bagi bibit-bibit unggul bangsa Indonesia dari generasi-generasi yang jauh di bawah Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie FREng.

Kebetulan memoar ini muncul kembali tatkala Komunitas Menulis Memoar yang dibentuk oleh Ngadiyo dari penerbitan Diomedia hendak membuat acara untuk ikut memeriahkan perayaan ulang tahun ke-76 kemerdekaan Republik Indonesia. Dr. Titi Priyatiningsih M.Pd., salah seorang anggota komunitas, berkisah tentang perjumpaannya dengan Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro di Dusseldorf. Saat itu, sebagai Kepala Sekolah berprestasi, Dr. Titi mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan ke Eropa dengan pendampingan seorang pemandu istimewa, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro.

Sebagian peserta Bincang Buku bersama Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro (capture zoom)
Sebagian peserta Bincang Buku bersama Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro (capture zoom)

Buku "Sepanjang Jalan Kenangan" sebenarnya sudah diperkenalkan lima tahun silam, tepatnya 12 Mei 2016 pada peluncuran buku di Museum Nasional Indonesia. Lima tahun berlalu, tapi rupanya semesta mendukung keinginan Prof. Wardiman agar memoarnya tidak hanya menanti di perpustakaan. Beliau awalnya ragu-ragu menulis biografi karena minat membaca masyarakat Indonesia yang masih sangat minim. Ternyata, pada tanggal 17 Agustus 2021 cukup banyak peserta yang hadir dalam Bincang Buku "Sepanjang Jalan Kenangan" itu.

Peserta bincang buku sangat beragam, ada dari guru-guru dan kepala sekolah, ada juga dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), bahkan ada juga mantan wartawan yang dulu setia menanti di Departemen Pendidikan tatkala Prof. Wardiman menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Pertanyaan yang paling menarik peserta Bincang Buku melalui zoom itu adalah bagaimana beliau bekerja di bawah pimpinan tiga pemimpin bangsa: Ali Sadikin (DKI Jakarta, 1966 -1979), B.J. Habibie (Kemenristek/BPPT, 1979 -1993), serta Presiden Soeharto (sebagai Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, 1993 -1998). 

Apalagi Bung Ali dan Presiden Soeharto sempat berada di kubu yang berseberangan. Kenangan akan mentor-mentor hebat dalam kehidupannya memang memberikan andil besar dalam perjalanan hidup seorang Wardiman Djojonegoro, yang sering disebutnya sebagai Twist of Fate.

Biografi tebal itu memang menyimpan cerita yang sangat beragam, penuh warna-warni kisah kehidupan, baik dari kisah Prof. Wardiman sendiri, maupun berasal dari pandangan orang-orang lain yang dikutipnya. Uniknya, menurut A. Makmur Makka, editor buku yang hadir juga pada acara Bincang Buku tersebut, setiap kutipan itu sudah diperlihatkan kepada pemberi kisah untuk diperiksa kembali apakah sudah dikutip sesuai aslinya. Suatu pelaksanaan penulisan yang baik dan benar dalam praktek jurnalistik.

Ada peserta acara, seorang guru dari Sekolah Menengah Kejuruan, baru tahu bahwa ide Link and Match berasal dari Prof. Wardiman Djojonegoro. Demikian juga bahwa perayaan Hari Guru Nasional yang dirayakan secara nasional setiap tanggal 25 November berasal dari peringatan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Rupanya tanggal berdirinya PGRI terpilih sesuai usulan Prof. Wardiman, disahkan dengan Keputusan Presiden no 78 tahun 1994.

Banyak peserta Bincang Buku yang memuji kekuatan daya ingat Prof Wardiman serta staminanya. Saat itu bincang buku berlangsung lebih dari dua jam, dan beliau tidak kehilangan fokus serta selalu ingat semua pertanyaan yang diajukan. Dalam usia 87 tahun, mengikuti Bincang Buku melalui zoom tanpa bantuan asisten memang membuat banyak peserta bertanya bagaimana kiat beliau menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh serta pikiran. 

Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro bersama Dr. Titi Priyatiningsih M.Pd dalam Bincang Buku Sepanjang Jalan Kenangan, 17 Agustus 2021 (capture zoom)
Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro bersama Dr. Titi Priyatiningsih M.Pd dalam Bincang Buku Sepanjang Jalan Kenangan, 17 Agustus 2021 (capture zoom)

Buat Dr. Titi, penanggap buku hari itu, kalimat dari Bab Pertama buku "Berbuatlah selalu yang terbaik," merupakan kalimat yang sangat berarti. Kalimat itu pernah didengarnya juga ketika bersama Prof Wardiman berkunjung ke Eropa. Hal lain yang menarik bagi penanggap adalah ketika diberi nasihat untuk "membeli waktu", karena kesempatan tidak selalu akan datang lagi, sehingga jangan ragu untuk merogoh kocek ketika menginginkan sesuatu dalam kesempatan yang langka.

Bagi saya pribadi, hal yang paling berkesan adalah kejujuran beliau dalam menuliskan memoarnya. Dalam halaman 36-37 beliau menyatakan ungkapan penyesalan karena terlalu teguh memegang prinsip "hanya orang bekerja yang mendapatkan uang saku." Prinsip yang kaku membuatnya tidak melihat "pekerjaan merawat Ibu" sebagai suatu sumbangsih yang berharga dalam keluarga, sehingga beliau merasa kurang membantu adiknya yang saat itu tidak bekerja, tetapi merawat Ibu mereka.

Kejujuran lainnya terasakan dalam kisah Belajar Berpidato di Toastmasters pada Bab 78. Bagaimana sebagai mantan Menteri, yang tentunya sudah sangat biasa berpidato, ternyata harus kembali belajar untuk percaya diri berpidato tanpa teks di depan anggota Toastmasters lainnya. Menjadi sosok yang tidak pernah berhenti belajar adalah satu keteladanan yang baik bagi generasi muda masa kini.

Memang buku memoar tebal yang dilengkapi dengan indeks subyek serta indeks tematik ini penuh kisah. Penyuka museum bisa menemukan kisah-kisah museum, pemugaran, dan lain-lainnya. Guru-guru juga bisa membaca sebenarnya ide link and match (terkait dan sepadan antara sekolah dengan industri). Atau kisah tentang Memory of the World, sebuah usaha untuk pelestarian dokumentasi, sejarah dan budaya bangsa dalam Ingatan Kolektif Dunia. Bahkan, saya bisa menemukan Kompasiana di dalam buku tersebut!

Satu hal utama yang dipesankannya kepada peserta Bincang Buku adalah untuk selalu berusaha berbuat yang terbaik dengan tanpa pamrih. Semua usaha itu pasti akan berbuah baik pada akhirnya.

Buku ini akan menjadi bagian dari pembelajaran lintas generasi, di mana generasi-generasi yang jauh lebih muda bisa belajar dari sejarah yang tertulis ini dan menjadikannya inspirasi untuk selalu bertumbuh dengan lebih baik lagi. Menulis memoar adalah membagikan warisan bagi penerus bangsa, dan menjadi berguna bila dibaca dan dijadikan sarana untuk belajar agar bisa berusaha menjadi lebih baik lagi.

Memoar membuka kenangan lama, seperti memoar "Sepanjang Jalan Kenangan" membantu memperlihatkan Kompasiana zaman dahulu. Pesan-pesan dan ide-ide yang ingin disampaikan bisa saja terus bergaung melintasi kurun waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun