Mohon tunggu...
Retty Hakim
Retty Hakim Mohon Tunggu... Relawan - Senang belajar dan berbagi

Mulai menulis untuk portal jurnalisme warga sejak tahun 2007, bentuk partisipasi sebagai warga global.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur: Suara Masa Lalu yang Memanggil

16 Mei 2021   00:26 Diperbarui: 16 Mei 2021   00:36 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief Borobudur menggambarkan orang-orang bermain alat musik (koleksi Tropen Museum)

Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814, Borobudur terus bergulat dengan eksistensinya. Ada masa ketika Borobudur menjadi semata obyek penelitian arkeologi, kemudian ganti berdandan menjadi taman wisata. Sebenarnya, kehadiran Borobudur dengan 1460 panil relief cerita dan 1212 panil relief dekoratif merupakan catatan "fotografis" Indonesia dari abad lalu. Setelah melalui tahun-tahun menerjemahkan gambar alat-alat musik yang terdapat dalam relief Borobudur, Sound of Borobudur dengan pengampu utama Trie Utami, Dewa Budjana dan Purwa Tjaraka berusaha menggaungkan kisah alat-alat musik yang tampak di dalam relief Borobudur. Alat-alat musik yang sekarang justru terekam sebagai alat musik dari berbagai daerah di Indonesia maupun di dunia.

Bagi saya, relief Borobudur menceritakan bagaimana gambaran perumahan pada masa pembangunan candi tersebut. Catatan fotografis ini juga menunjukkan betapa sistem persawahan sudah dibuat teratur. Sudut pandang ketertarikan pada relief Borobudur memang bisa berbeda. Ketika peneliti dan pemusik yang menikmati relief Borobudur maka alat musik yang terdapat pada ukiran relief menjadi hal yang menarik perhatian mereka. Menurut catatan PEJ Ferdinandus di website soundofborobudur.org tercatat ada 226 alat musik jenis aerophone (tiup), cordophone (petik), idiophone (pukul), membranophone (bermembran) dan 45 relief yang menggqambarkan ansambel.

Menghidupkan relief Borobudur bagaikan rekonstruksi jejak-jejak peradaban pada masa itu. Sebelumnya pada tahun 2003 berlayarlah Kapal Borobudur dengan rute Jakarta-Madagascar-Cape Town -- Ghana. Dari 10 panel relief kapal yang terdapat di Borobudur, timbul ide untuk menghidupkan kembali kejayaan maritim pada saat itu. Apakah Mataram Kuno yang agraris memiliki armada maritim? Perbedaan cara pandang memang menarik (baca Candi Borobudur Jejak Maritim Dinasti Sailendra), sehingga menjadi tugas peneliti untuk menarik kesimpulan dari hasil kajian mereka.

Kejayaan maritim ini menjadi semakin menarik untuk dikaji ketika temuan gambaran alat musik yang tergambarkan di panel relief Borobudur justru bukan alat musik yang kini biasa ditemukan di Pulau Jawa. Alat musik yang tergambarkan di dalam relief Karmawibhangga justru mengingatkan akan alat musik suku Dayak yang bernama Sapek dan Keledi (baca selengkapnya di Ancient Musical Instrument in Sound of Borobudur). 

Trie Utami, seniman yang mencetuskan ide untuk menghidupkan kembali gambaran dari relief candi itu menuliskan dalam blog di website Sound of Borobudur bahwa dari pahatan di Borobudur terdapat setidaknya 45 jenis alat musik yang sebarannya mencakup 34 provinsi di Indonesia, dan 40-an negara di dunia.

Asri S. dalam tulisannya di Kompasiana menunjukkan adanya kemiripan alat musik yang tergambar dalam relief di Borobudur dengan alat musik Bo dari Tiongkok, Darbuka dari Mesir, Sho dari Jepang, dan Ranat Ek dari Thailand. Sementara Alfian Arbi dalam tulisannya di laman yang sama menyebutkan alat musik Dombra dari Kazakhstan.

Sound of Borobudur berusaha menggaungkan kembali bunyi alat musik yang terekam pada panel relief Borobudur, menggambarkan tingginya peradaban yang sudah dihadirkan dalam abad yang silam. Pencarian ini sudah dikembangkan selama lima tahun sejak tahun 2016 mereka membuat tiga buah dawai pertama dan tentunya masih akan terus berkembang.

Ketika membantu Pameran Jalur Rempah: the Untold Story, saya belajar bahwa Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 merupakan Pusat Pembelajaran Agama Buddha terbesar di dunia saat itu.  Satu kelemahan nenek moyang Indonesia adalah tidak adanya catatan lokal mengenai peradaban pada masa Sriwjaya. Catatan-catatan muncul justru dari luar Indonesia. Apakah wangsa Syailendra yang memerintah di Sriwijaya memiliki keterkaitan dengan wangsa Syailendra yang membuat Borobudur di tanah Jawa? (Baca juga Budhisme antara Sriwijaya dan Borobudur)

Berkat dokumentasi Kassian Chepas yang mendokumentasikan bagian tersembunyi dari Borobudur (Karmawibhangga), maka ada yang berbagai alat musik yang menjadi bagian dari relief bisa terlihat. Adakah Borobudur pusat musik dunia? Atau akankah Borobudur menjadi pusat musik dunia dengan undangan dari Sound of Borobudur?

Borobudur adalah satu bagian kisah panjang peradaban pada kerajaan Mataram Kuno yang disampaikan secara visual. Pembuatan Candi dan relief-reliefnya yang memakan waktu sekitar satu abad, kemudian terpinggirkan selama beberapa abad, lalu proses restorasi dan kemunculannya kembali sebagai candi Budha terbesar di dunia merupakan perjalanan panjang. Sebuah perjalanan, seperti berjalan di lorong-lorong candi Borobudur menuju ke pencerahan di Puncak (Arupadathu).

Belum lama ini, mengikuti virtual tour Kawasan Borobudur (ringkasannya dikisahkan Kompasianer Vika Kurniawati) membuat saya menyadari betapa Borobudur merupakan kekayaan milik masyarakat. Mengunjungi Borobudur tidak hanya sekedar mengunjungi candi dari masa lalu. Borobudur adalah milik masyarakat, bahkan dalam konteks kekinian sudah menjadi pusaka Indonesia yang menarik perhatian dunia. Menurut catatan Kompas, orang-orang penting yang mengunjungi dan terpukau pada Borobudur sangat beragam, dari Rabindranath Tagore, Che Guevara, Dalai Lama, hingga Barack Obama. Semua terpukau pada Borobudur!

Banyak hal di luar restorasi candi maupun dokumentasi sejarah yang menjadi bagian dari geliat Borobudur. Hal ini baru saya sadari ketika mengikuti virtual tour yang didukung oleh UNESCO, Citi Foundation, @KitaMudaKreatif, serta banyak pihak yang ingin menjawab tantangan Borobudur. Mengunjungi Borobudur adalah mengunjungi kehidupan di sekitarnya. Mengunjungi Borobudur juga bagaikan membuka perpustakaan sumber inspirasi.

Perjalanan musisi-musisi Indonesia dalam menggaungkan kembali suara Borobudur sebagai sebuah panggilan bagi generasi muda Indonesia, seperti kata Trie Utami, "Mereka harus menjadi putra-putri Pertiwi yang bermartabat, tangguh, cerdas, analitis, kritis, produktif, unggul, berkepribadian dan karya-karyanya diakui oleh dunia." (selengkapnya baca di sini). Trie Utami, Dewa Budjana, Purwa Tjaraka dan teman-temannya sudah mencoba menjawab panggilan itu. Semoga gaung Sound of Borobudur akan terus bergulir, melintasi roda waktu, melintasi pulau dan lautan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun