Mohon tunggu...
Retno edya permatasari
Retno edya permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Diabaikan! Gangguan Kepribadian Dependen Bisa Makin Serius Kalau Tidak Ditangani

2 Januari 2022   18:30 Diperbarui: 3 Januari 2022   08:26 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Min An/Pexels 

Manusia sebagai makhluk sosial saling bergantung dan membutuhkan satu sama lain. Walaupun begitu manusia juga memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri atau mandiri dalam menjalani kehidupan. 

Saat masih anak - anak, memang manusia masih membutuhkan bantuan orang lain untuk segalanya. Namun ketika sudah tumbuh dewasa, manusia harus bisa mandiri dalam menjalani hidupnya, terutama dalam menangani masalah dan mengambil keputusan.

Butuh bantuan dari orang lain itu tidak apa – apa asalkan tidak sampai ketergantungan berlebihan. Namun jika ketergantungan tersebut sampai membuat anda tidak bisa menentukan pilihan dan tidak bisa mengambil keputusan untuk diri anda sendiri, seperti memilih pakaian yang akan dipakai, selalu meminta arahan untuk hal yang anda dilakukan dan merasa tidak berdaya atau cemas jika tidak ada orang lain yang mau menolong anda. Maka bisa jadi anda mengalami dependent personality disorder atau gangguan kepribadian dependen.

Sebenarnya apa sih dependent personality disorder atau gangguan kepribadian dependen itu ?. Untuk mengetahui hal tersebut, mari simak penjelasan berikut ini.

Gangguan kepribadian dependen (Dependent Personality Disorder) atau yang disingkat menjadi DPD termasuk dalam kelompok gangguan kepribadian cluster C dalam klasifikasi DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang ditandai dengan perilaku cemas dan takut (Nevid et al., 2018). 

Gangguan kepribadian dependen merupakan kebutuhan berlebihan untuk diperhatikan oleh orang lain, yang mengarah pada perilaku patuh atau tunduk, suka melekat pada orang lain, dan takut akan perpisahan (APA, 2000; Beidel et al., 2012). Orang dengan gangguan kepribadian dependen sangat bergantung pada orang lain. kebutuhan emosional dam fisiknya pun bergantung pada orang – orang terdekatnya.

Orang yang mengalami gangguan ini merasa sulit untuk bisa melakukan apa – apa sendiri. Mereka merasa sulit untuk membuat keputusan sehari – hari tanpa meminta nasehat atau arahan dari orang lain. Seperti hendak mengenakan pakaian apa, hendak makan apa, dan aktivas – aktivitas lain untuk dirinya sendiri pun harus meminta pertimbangan terlebih dahulu dari orang lain. 

Sehingga membuat orang yang mengalami gangguan ini cenderung pasif dan membiarkan orang lain untuk mengambil ahli dan tanggung jawab dalam kehidupannya (Beidel et al., 2012). Sangking cemasnya karena akan ditinggalkan dan merasa takut karena tidak berdaya melakukan segala sesuatunya sendiri. 

Mereka akan selalu berusaha menyenangkan dan menuruti apa yang diinginkan oleh orang lain walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan mereka sendiri, yang terpenting mereka selalu didukung, tidak ditolak, dan tidak ditinggalkan (Kearney & Trull, 2018).

Mesikipun penyebab pasti dari gangguan kepribadian dependen masih belum diketahui oleh para ahli, namun kemungkinan besar gangguan ini berasal dari faktor seperti biologis, perkembangan, psikologis, dan lingkungan. Walaupun begitu, para ahli menemukan beberapa faktor dari gangguan kepribadian dependen yang berasal dari pengalaman hidup yang dialami seseorang. Seperti :

  • Pernah menjalani hubungan kasar (Abusive) yang cukup lama
  • Trauma yang dialami pada masa anak – anak
  • Pola asuh yang ketat dan otoriter
  • Trauma pernah ditinggalkan
  • Perilaku agama atau budaya yang ditekankan pada keluarga atau lingkungan tertentu (Cleveland Clinic, 2014).

Gangguan kepribadian dependen bisa terjadi pada pria maupun wanita. Menurut DSM 5, prevalensi dari gangguan kepribadian dependen ditemukan sebesar 0,49% pada awal tahun 2000 an, dan didiagnosis lebih sering pada wanita daripada pria (American Psychiatric Association, 2013). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun