Sekitar tahun 2010 WHO pernah menegaskan bahwa tidak aka nada lagi pandemic baru yang akan melanda dunia setelah flu Spanyol yang melanda dunia sekitar tahu 1920-an. Sebelumnya ada beberapa wabah yang membuat banyak orang meninggal seperti wabah pes di Nusantara dan beberapa wabah lainnya.
Di tengah keyakinan itu, kita dihadapkan dengan wabah baru yaitu Covid-19 yang sejujurnya membuat orang terhenyak karena sama sekali tidak menyangka akan datang. Wabah kali ini di temuka  sekitar November-Desember 2019 di daratan China. Lalu kemudian meyebar ke seluruh dunia dan membuat banyak rencana tidak berjalan dengan baik.
Pandemi kali ini tidak saja merupakan masalah kesehatan. Lebih jauh dari itu, ia juga membawa persoalan sosial, cultural, ekonomi yang justru berdampak lebih parah dibanding dampak kesehatan itu sendiri. Memang sampai saat ini belum ada vaksin yang dapat menangkal penyakit yang sangat menular ini, tapi imunitas masyarakat dan protocol kesehatan yang telah ditetapkan sebenarnya sudah cukup sebagai penawar pertama melawan penyakit ini.
Tapi masyarakat (pemerintah lokal dan internasional) harus juga berjuang melawan beban psikologis bersama yaitu tidak bisa bekerja dengan normal, tidak bisa belajar dengan normal dan tidak bisa berinteraksi dengan cara sebelum pandemic. Bagi umat muslim yang tak kalah berat adalah tidak bisanya masyarakat pemeluk agama ini untuk salat Ied bersama saat Idul Fitri.Â
Mudik dilarang karena menyangkut penyebaran yang harus terkendali, dan berbagai protocol yang membuat banyak masyarakat kita frustasi, bosan dan putus asa. Situasi ini berat apalagi menyangkut para pekerja informal yang mengandalkan dari sektor jasa seperti pariwisata, kuliner dan jasa lainnya.
Dalam kondisi dan situasi seperti ini, ada pihak-pihak yang masih sempat memprovokasi masyarakat soal kebijakan-kebijakan bersama yang telah diambil, seperti protocol soal ibadah di rumah ibadah, mekanisme berpergian keluar kota dll. Mekanisme bepergian keluar kota misalnya, masing-masing kepala daerah memang punya beberapa perbedaan kebijakan mengingat tipikal daerahnya masing-masing. Memang di beberapa daerah punya kelemahan, namun semuanya tentu dengan maksud baik yaitu mengurangi penyebaran penyakit lebih luas.
Provokasi biasanya selalu resisten dan menyangkal maksud baik dari pemerintah dan ulama yang ikut membantu mengedukasi masyarakat. Mereka tidak mau tahu maksud baik itu dan selalu menyangkal kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah, dan bersikukuh bahwa pendapatnya saja yang benar.
Mungkin pandangan seperti  ini perlu vaksin keberagaman agar bisa membentengi masyarakat dari dampak sosial Covid-19 dan provokasi yang bisa memecah kita.