Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Politik Jangan Kotori dengan Ujaran Kebencian

17 Juli 2018   07:01 Diperbarui: 17 Juli 2018   07:11 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop Hate Speech - tangkapan layar dari youtube.com

Indonesia sudah memasuki setengah dari tahun politik. Baru saja pilkada serentak di 171 daerah berlangsung. Sebentar lagi, juga akan dilakukan pemilihan anggota legislative dan pemilihan presiden dan wakil presiden. 

Dalam perhelatan politik tersebut, diduga akan kembali diramaikan oleh provokasi, hoax, hingga ujaran kebencian. Untuk pileg mungkin tidak terlalu ramai, tapi untuk pilpres, semua pihak tentu akan habis-habisan melakukan berbagai cara agar pasangan yang diusung bisa memenangkan perhelatan politik.

Sayangnya, tidak sedikit untuk urusan politik tersebut menggunakan sentiman SARA. Jika sentiment SARA ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan terus memupuk suburnya bibit radikalisme di Indonesia. Ketika seseorang sudah terpapar radikalsime, akan berpotensi melakukan tindakan teror. 

Lalu, seperti apa bibit radikalisme itu? Ujaran kebencian adalah salah satu contohnya. Ketika seseorang begitu mudah membenci, mereka akan merasa dirinya paling benar, dan melihat orang lain yang tidak satu pandangan sebagai pihak yang salah. Ketika bibit kebencian itu kemudian diarahkan untuk kepentingan politik, tentu hal ini akan sangat disayangkan.

Bahkan, ujaran kebencian itu tidak hanya berkembang di dunia maya, tapi juga telah menyasar dunia nyata. Diskusi politik dengan disusupi kebencian terjadi di kantor, perusahaan, warung, hingga tempat ibadah. Survey yang dilakukan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan, yang dirilis banyak media pada awal Juli 2018 lalu, menunjukkan banyak masjid di kantor pemerintahan di Jakarta terindikasi paham radikal. 

Penelitian ini dilakukan dengan cara merekam audio dan khotbah Jumah, selama periode 29 September hingga 21 Oktober 2017. Bagaimana bisa, masjid yang seharusnya menjadi tempat untuk mendekatkan diri pada Tuhan, justru dikotori dengan bibit kebencian.

Diskusi tentang politik semestinya didorong di tataran ide dan gagasan. Apa solusinya untuk menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di Indonesia? Apa yang akan kalian lakukan jika terpilih menjadi gubernur, anggota legislative ataupun terpilih menjadi presiden? Pertanyaan diatas harus terus dielaborasi dan menjadi bahan diskusi. Sehingga perhelatan demokrasi benar-benar bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua. Namun jika diskusinya lebih diarahkan untuk mencari kejelekan, atau menebar kebencian dengan dibenturkan pada ayat-ayat suci, tentu yang terpilih bukanlah pemimpin yang jujur, bertanggungjawab dan toleran.

Indonesia perlu pemimpin yang bisa mengayomi untuk semua, bukan pemimpin untuk kelompok tertentu saja. Indonesia mempunyai banyak propinsi, suku dan budaya. Semuanya itu mempunyai karakter yang berbeda satu sama lainnya. Jika pemimpin yang terpilih tidak melihat itu semua, Indonesia yang kaya dan indah ini, dikhawatirkan akan hancur oleh masyarakatnya sendiri. 

Potensi konflik kan terbuka, karena masyarakatnya begitu mudah saling membenci hanya karena provokasi.  Karena itulah, jangan kotori tahun politik ini dengan bibit kebencian dan radikalisme. Mari kita sebarkan pesan damai dan ajak semua orang untuk berlomba berbuat kebaikan. Jika pemimpin yang terpilih berlomba berbuat kebaikan, masyaraktnya pun akan sejahtera. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun