Ditulis oleh Anisa Rianti, salah satu penulis dari RetinaReview.id
Gambar di atas merupakan infografik hasil kuesioner retinareview.id untuk film Ali dan Ratu-Ratu Queen sempat (atau masih) ramai di sosial media. Momen ini dimanfaatkan oleh saya dan teman-teman dari RetinaReview.id untuk mendalami pengalaman para penonton film ini. Simpelnya, dengan adanya banyak penonton, seharusnya lahir berbagai pendapat mengenai film ini. Pertanyaannya mulai dari nilai mereka terhadap ARRQ, hal yang ingin diperbaiki, hingga kesimpulan mereka kepada film ini.
Dalam artikel ini, ada kesimpulan personal yang ingin saya bagikan.
Breakdown
Penemuan menarik dari kami, adalah pendapat yang kontras. Ada yang bilang “aktingnya kurang” juga “aktingnya bagus/dapet banget”, “terlalu menjual mimpi” juga “relatable”, dan “gak masuk akal” juga “realistis”. Penjelasan atas opini ini juga tidak pendek-pendek, mereka menjelaskan kenapa mereka bisa mengeluarkan kesimpulan dari pendapat mereka.
Untuk akting yang bagus dan tidak, kembali lagi pada referensi masing-masing, jadi tidak akan saya bahas lebih dalam. Dua hal yang menjadi sorotan adalah masalah pribadi yang bisa membentuk pendapat mereka.
Dari yang bilang ceritanya terlalu menjual mimpi memiliki rasa tidak puas pada adegan betapa cepatnya Ali bisa mendapat visa, yang menurut pengalamannya visa sangat sulit didapat. Sementara untuk yang bilang relatable adalah yang pernah memiliki pengalaman bersekolah di Amerika dan bertemu para imigran yang terbuai “American Dream”.
Ada yang merasa ”gak masuk akal” pada karakter-karakter yang terkesan terlalu dibuat-buat dan tidak terlihat seperti imigran yang telah lama tinggal, juga pada sosok ibu yang tidak tidak jelas alasannya untuk tega membuang anak. Sementara yang bilang relatable (dan ada beberapa) memiliki isu ‘ditelantarkan’ yang sama dengan tokoh utama dalam film ini.
Film ini memang ringan, tapi menyentuh isu kompleks sebuah hubungan keluarga. Imbasnya, bagi beberapa penonton film ini jadi terkesan ‘khayalan’ belaka. Saya melihat, keluhan minor yang muncul ditujukan kepada emosi yang dihadirkan oleh beberapa orang dirasa tidak masuk akal, atau tanggung. Di sisi lain, genre film ini memang dibuat ringan, drama comedy sebagai mana tertulis di Netflix.
Cerita dengan kompleks ini dari sisi komedi. Hal ini mengingatkan saya kepada drama romantis di sebuah sinetron Amerika: Scandal (2012–2018). Kisah seri ini populer, tapi banyak kritik yang berkata kalau seri ini terlalu mengada-ada. Betul, karena tujuan serial ini untuk hiburan, bukan untuk kritik tajam mengenai isu kulit hitam di Amerika. Tapi tidak bisa dipungkiri serial ini memiliki dampak cukup besar bagi para pemain wanita kulit hitam.
Sama seperti film ARRQ, menurut saya (setelah melihat curhat-curhat di kuesioner) isu ini memang perlu dibuka ke masyarakat luas, tidak terbatas menjadi gosip di kelompok yang ingin tahu urusan orang lain.
- Ada orang tua yang tidak siap mengasuh anaknya.
- Ada efek psikologis ketika seorang anak ditelantarkan oleh orang tua.
- Masih ada yang bermimpi untuk hidup di New York, terlepas banyaknya masalah disana.
- Masih ada yang ingin keluar dari Indonesia, terlepas banyaknya perhatian dari keluarga.
- Ada yang tidak bisa atau ingin pulang meskipun rindu kampung halaman.
Saya pribadi, tidak pernah terpikirkan untuk membuang masa lalu untuk meraih masa depan di negeri asing. Tapi saya kenal beberapa orang yang masih memiliki semangat tersebut, yang mencoba berbagai macam kemungkinan untuk membuka jalan ke masa depan yang lebih baik.
Akhir kata dari saya, film ini memang over-rated. Terlalu banyak dibahas, tapi mungkin memang perlu dibahas.
Artikel ini juga ditulis di blog pribadi saya:
https://medium.com/@aannisarrianti/film-ali-ratu-ratu-queen-overrated-tapi-perlu-59759dc07d9c