Mohon tunggu...
Resty
Resty Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat fiksi dan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Efek Samping Konstruksi Sosial-Budaya Kita Soal Keperawanan

19 September 2019   15:34 Diperbarui: 14 September 2023   21:08 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: flo.health

Kekangan lain adalah masalah perawan atau tidak perawan. Harga diri seorang perempuan sepertinya begitu tergantung pada keperawanannya. Saya tidak ingin langsung melompat untuk mengatakan hal ini tidak baik. 

Sebab jika saya mencoba menelusuri hal yang mungkin menjadi sejarah terbentuknya konstruksi seperti ini, saya sedikit-banyak dapat memahami kebaikan di baliknya. Kita hidup di tengah masyarakat kita yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Suatu hal yang baik sebab keluarga adalah komitmen besar. 

Efek sampinya adalah, keperawanan menjadi hal yang sangat penting, simbol bahwa seks tidak boleh dilakukan di luar pernikahan. Atau mungkin dalam perkembangannya, konsep keperawanan ditujukan untuk menjaga kita agar tidak melakukan seks bebas. Mungkin.

Hal ini telah dibangun dalam masyarakat kita dari generasi ke generasi. Namun, bagaimana dengan mereka yang kehilangan keperawanan bukan karena melakukan seks di luar nikah? Bagaimana dengan korban perkosaan? Bagaimana dengan mereka yang kehilangan keperawanan bukan karena melakukan seks tapi mengalami kecelakaan?

Hal yang paling penting yang ingin saya pertanyakan adalah bagaimana dengan mereka yang seperti Reni? Mereka yang masih mudah dan tidak paham akan konsekuensi dari perilakunya? Apakah Reni termasuk perempuan tidak baik-baik? Karena dari penilaianku, dia adalah orang paling baik yang pernah kutemui. Apakah Reni tiba-tiba tidak memiliki harga diri karena kehilangan keperawanannya?

Hal yang lebih ingin saya soroti dari kasus Reni, terlepas dari posisinya sebagai teman saya adalah bahwa dia melakukan seks di usia begitu mudah. Ia bahkan tidak paham apa konsekuensi tindakan itu terhadap kesehatan fisik dan psikologisnya. 

Lalu mengapa kita menyoroti konsep abstrak seperti keperawanan sementara ada masalah lain yang semestinya menjadi fokus? Masalah bahwa ia tidak mendapatkan edukasi seks. 

Ia seumur hidupnya tumbuh dengan pemikiran untuk mejaga keperawanan, tapi tidak tahu soal seks sama sekali. Lalu ketika kecerobohan masa remaja menghampirinya, hal yang tertinggal setelahnya hanyalah ketakutan bahwa ia tak perawan lagi.

Bahwa tidak akan ada kebahagian lain untuknya. Bahwa ia tak berharga. Tak ada ketakutan soal kesehatannya. Tak ada ketakutan soal apa yang diharapkan masyarakat bahwa ia akan menyesali dosanya karena telah melanggar moral.

Bagaimana seharusnya kita menempatkan kisah-kisah seperti ini di dalam pandangan yang akan membangun konstruksi sosial kita ke depannya? Mungkin kita bisa memulai dengan berhenti memandang seks sebagai hal yang tabu dan mulai memberikan edukasi kepada anak-anak soal itu.

Tapi ini hanyalah satu sudut cerita, di luar sana ada banyak cerita soal efek samping. Cerita-cerita yang mungkin bisa membuat kita benar-benar mau mulai memikirkan soal apa yang harus diubah dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk soal cara kita memandang permasalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun