Mohon tunggu...
Restu Rizwansyah
Restu Rizwansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Fakultas hukum - Universitas Pamulang

Perlawanan dalam bentuk tulisan layaknya douwes dekker dan Kartini. Mencerahkan kegelapan lewat pena layaknya ki hadjar dewantara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perilaku Masyarakat dan Kebijakan Presiden di Tengah Pandemi Covid-19

31 Maret 2020   12:58 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:15 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awal tahun ini nampaknya menjadi masa yang paling berat yang pernah penulis alami diantara beberapa tahun belakangan. Bagaimana tidak ? awal bulan januari, kita sudah dikagetkan dengan banjir yang melanda beberapa titik di daerah daerah, dilanjut dengan adanya berita ketegangan di wilayah natuna, viralnya isu perang dunia ketiga. Lalu, tak berhenti disitu kita disuguhi dengan kepanikan luar biasa akibat adanya pademi Corona yang melanda seluruh negara.

Dan sesuai judul diatas yang akan penulis fokuskan pada artikel ini adalah mengenai pandemic corona ini. Virus ini muncul pertama kali di Indonesia, setelah ditemukan pada dua warga depok, awal maret lalu. Dan siapa sangka sampai saat ini, ketika artikel ini ditulis jumlah korban akibat virus ini telah mencapai 1.414 orang positif dan 122 orang meninggal.

Selain karena tingkat penyebarannya yang cepat, dalam perspektif penulis ada juga faktor lain yang menyebabkan virus ini mudah berkembang lebih liar lagi di Indonesia. Diantaranya mungkin

kelalaian pemerintah, inkonsistensi , dan miskoordinasi antar birokrasi.

Seperti yang kita ketahui di awal munculnya  virus ini di beberapa Negara, para elite pejabat di Negara kita malah berkelakar dibanding membuat kebijakan pencegahan sejak dini. Disaat beberapa Negara lain mulai memberlakukan lockdown, Negara kita justru malah gencar gencarnya mempromosikan pariwisata. Penulis bukan tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah ini, mungkin pemerintah juga membuat kebijakan ini dengan maksud untuk menguatkan sektor ekonomi. 

Namun, dalam sudut pandang penulis mempromosikan pariwisata di tengah hebohnya virus ini adalah sebuah kebijakan yang sangat tidak tepat moment nya. Pemerintah telah lalai karena hanya melihat aspek ekonomi, tanpa mempertimbangkan resiko terpapar virus ini. Setelah semakin banyaknya korban meninggal akibat virus ini, penulis kira pemerintah bakal membuat kebijakan, atau minimal statement di media yang  bakal menumbuhkan rasa optimis di masyarakat. 

Tapi, yang terjadi adalah malah sebaliknya. Pemerintah dinilai kurang transparan, dan cenderung menutup nutupi akan kasus ini. Adanya inkonsistensi di pemerintahan jelaslah sangat berbahaya. Karena menyebabkan ketidakpercayaan dan kepanikan di masyarakat. Contohnya saja adalah mengenai pasien yang meninggal di cianjur. Pemerintah membantah pasien tersebut meninggal Karena positif corona, tentu awalnya  berita ini tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Tapi, selang beberapa lama, ternyata keluarga pasien tersebut dinyatakan positif. Dan inilah pemicu munculnya keraguan di masyarakat akan berita yang diberikan pemerintah.

Harusnya pemerintah bisa bersikap realistis, memberikan informasi yang sesungguhnya kepada masyarakat, jangan ada yang ditutupi, apalagi ini adalah masalah yang sangat serius. Dan harusnya ada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi ketimpangan data yang mengakibatkan disinformasi di masyarakat. Sering terjadinya miskoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah,misalnya antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat atau contoh lain miskoordinasi antara gubernur jawa barat dan walikota sukabumi terkait data orang yang positif corona. Ini menimbulkan kerancuan, kepanikan, dan keresahan di masyarakat.

Pemerintah juga dalam menentukan sikap dan kebijakan mengatasi pandemic ini, harusnya untuk saat ini lebih focus kepada aspek kemanusiaan, dibanding ekonomi. Mengingat tingkat rasio kematian di Negara kita adalah yang tertinggi. Dalam hal ini penulis kira bahwa kasus seperti yang terjadi di DKI harusnya tidak terjadi. Dimana pemprov DKI berusaha memotong rantai penyebaran virus di daerah lain dengan cara melarang operasional bus AKAP, tapi malah di tolak oleh kemenhub dengan dalih tak memenuhi aspek ekonomi. Disini sebenarnya penulis terheran heran sebenarnya yang di prioritaskan pemerintah pusat ini apa? Memutus rantai penyebaran atau ekonomi?

Dengan dikeluarkannya kebijakan social distancing,  darurat social,  dan pembatasan social berskala besar menurut penulis sangatlah tidak efektif diterapkan di masyarakat kita. Dan secara dasar hukum yang penulis ketahui, perppu darurat sipil itu lahir untuk meredam pemberontakan, bukan virus. 

Menurut penulis di situasi seperti ini, kebijakan yang tepat adalah dengan adanya kekarantinaan kesehatan sesuai undang undang no.6 tahun 2018. Dimana ada pembatasan terhadap kegiatan kegiatan, dan kebutuhan masyarakat ditanggung oleh pemerintah demi memutus rantai penyebaran virus covid 19 ini. Apabila yang "keukeuh" diterapkan adalah kebijakan darurat social, sangatlah merugikan kaum bawah. Dimana mereka mendapat larangan berkegiatan, sementara kebutuhan makan harus ditanggung sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun