Mohon tunggu...
Resti S. Saleha
Resti S. Saleha Mohon Tunggu... -

Teacher of Science Subjects | Teacher Assistant of Neuropsychology in Untar | Private Teacher in Serpong - BSD Region

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibuku adalah Pintu, Hadiahnya Telah Membuatku Bisa Pergi

1 Januari 2018   17:53 Diperbarui: 1 Januari 2018   18:14 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Parasnya telah menua, dengan guratan abstrak yang melambangkan perjuangan tak sebentar. Sesekali saja Ibu berbicara, mata sayunya telah berkata lebih banyak, siapapun akan tahu bahwa yang diinginkannya adalah menjalani hari bersama anak-anak. 

Di usianya yang telah menginjak setengah abad, Ibuku mengalami kebimbangan yang luar biasa, antara berharap anak-anaknya sukses atau inginkan berkumpul di rumah bersama. Maka, ibuku hanya bisa diam, bingung dengan apa yang harus dipilihnya. 

Sebelum kebimbangan itu muncul, tiada hari bagi Ibu tanpa bertanya kapan pulang padaku yang diperdengarkan melalui saluran telpon. Aku yang telah lulus kuliah, anggapnya akan kembali ke rumah, bekerja di desa dan kembali bersama-sama. Sebagai anak yang memiliki banyak mimpi, aku kalut dan tertekan jika harus kembali ke desa setelah lama menimba ilmu di perantauan; aku belum membawa apa-apa, selain ilmu tanpa implementasi. 

Kasih anak memang sejengkal, meskipun Ibu membujuk terus-menerus supaya aku pulang dan tinggal di desa, aku masih tetap tak mau dan masih sempat-sempatnya berpikir mengenai karirku yang baru hendak dibangun. Sekalinya aku pulang, aku tak yakin bisa kembali. Lantas bagaimana karirku?

Namun, sekeras apapun aku meyakinkan diri untuk tetap di kota, aku tak kuasa jua mendapat laporan dari saudara-saudara di desa: Ibu sering melamun akhir-akhir ini, Ibu darah tinggi lagi, Ibu kangen katanya, Ibu udah tua.

Mendengar kondisi Ibu yang jelas sedang kangen parah pada anaknya, sebongkah ambisi yang telah kubentuk akhirnya meleleh juga. Aku segera menelponnya, mengabarkan bahwa secepatnya aku akan pulang, rintihan suaranya menjawab dari kejauhan sana dengan nada yang halus dan lirih. Seketika hatiku menciut, aku sadari betul-betul bahwa Ibu memang telah menua. Besoknya aku bergegas dan memutuskan untuk mengubur dalam-dalam semua rencanaku di kota.  

Tatapan bangga itu, akhirnya kulihat juga. Ibu menyambutku di daun pintu, seolah instingnya selalu tahu pada detik itu aku akan sampai. Aku mencium tangannya dengan khidmat, menyadari betapa rindunya aku pada Ibu. 

Sepanjang hari selama di desa, aku isi waktu dengan keceriaan, perlahan aku telah berdamai dengan situasi, mungkin di desa lah tempatku berada. Selama ada restu Ibu, seharusnya aku tak perlu khawatir akan menjadi apa dan dimana aku berada. 

Seminggu berlalu, aku belum melakukan hal yang berarti di desa. Tiba-tiba, aku melihat wajah sendu itu; Ibuku duduk terdiam di pelataran rumah dengan segudang pikiran yang tidak bisa kuterka. Dari wajahnya, aku melihat kebimbangan yang luar biasa. 

Seolah peka aku melihatnya dari kejauhan, Ibu memanggil dan menyuruhku duduk di dekatnya. Ibu bercerita tentang keadaan desa dan banyaknya pengangguran yang tidak membuat lebih baik status keluarga. Lalu, dengan sedikit terbata-bata, Ibu menyuruhku pergi; pergi ke kota. Aku tak merespon, bingung harus menjawab apa. Dengan penuh perjuangan untuk menahan diri, akhirnya air mata itu menetes, Ibu tidak mau mengekangmu di sini, ucapnya penuh dilema.   

Barangkali, di sisa-sisa umurnya itu, Ibu ingin memiliki kebersamaan seutuhnya yang didapatkan dari anak-anaknya. Akan tetapi, nyaris semua ibu tidak pernah memiliki ego. Ibu tahu apa yang diinginkan anaknya dan tak pernah memedulikan keinginannya sendiri. Ibu menghadiahiku sebuah kepercayaan untuk menjadi dewasa dan mandiri, sesuatu yang bahkan tidak pernah kusangka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun