Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Hasutan "People Power", dan Bully-an Bagi yang Waras

8 Mei 2019   13:53 Diperbarui: 8 Mei 2019   14:02 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bangsa ini seperti sedang menggali kuburnya sendiri. Dan, saat-saat penguburan itu tinggal menunggu hitungan hari. Kenapa? Karena kebersamaan tidak lagi mendapat tempat di negeri ini.

Lihat saja, di tingkat atas para pemimpin kian sulit untuk disatukan. Sejumlah elite politik sudah tak sungkan lagi menebar provokasi guna memancing revolusi.

Berbagai dugaan kecurangan dalam kontestasi dijadikan alasan untuk tidak akan menerima hasil kompetisi. Bahkan mereka mengancam akan menggerakkan 'people power' guna memuluskan ambisi berkuasa.

Sementara di tingkat bawah, massa menerjemahkan perselisihan di atas sebagai siap-siap untuk 'berperang'. Ketika ada tokoh yang masih berpikir waras, mengutamakan kepentingan bangsa di atas hasrat berebut kuasa, ia justru di-bully habis-habisan.

Perlakuan seperti itu yang tengah dialami Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat. Segelintir pendukung oposisi tiba-tiba gencar memaki, bahkan melempar fitnah, lantaran Presiden RI ke-6 ini tidak setuju dengan hasutan gerakan 'people power'.

Wacana 'people power' ini awal mula digaungkan oleh Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais yang juga menjabat Dewan Pembina Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Ia berencana menggerakkan massa jika menemukan kecurangan pada Pemilu 2019.

Amien bahkan menyerukan 'people power' tanpa harus mengikuti mekanisme seharusnya, yakni dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi dia, gugatan itu tidak akan ada gunanya. Jadi lebih baik langsung turun ke jalan untuk merebut kekuasaan.

Seruan itu disambut sejumlah tokoh dan pemuka agama dari kalangan oposisi, seperti Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, dan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Ustaz Bachtiar Nasir.

Keduanya menyambut baik gerakan 'people power' karena menilai Pemilu 2019 berlangsung dengan kecurangan yang bersifat terukur, sistematis dan masif. Karenanya, mereka meminta kandidat petahana, Joko Widodo-Ma'ruf Amien agar lewogo menyerahkan tampuk kekuasaan sebelum rakyat turun ke jalan.

Namun, banyak juga kalangan oposisi yang tidak setuju dengan wacana ini. Perebutan kekuasaan melalui 'people power' tentu inkonstitusional, sehingga tidak bisa dibiarkan. Dulu, tangis dan darah sudah tertumpah untuk menegakkan demokrasi, kenapa karena ambisi berkuasa, sistem ini hendak dihancurkan lagi?

SBY jelas bukan peragu, bimbang, atau bersikap abu-abu, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan itu. Ia sudah menyadari akibat buruk yang bisa terjadi jika perebutan kekuasaan ini dilakukan dengan cara kekerasan. Bukan reformasi lagi yang akan terjadi, melainkan perang saudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun