Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Teror Bom ke KPK, karena Perangi Korupsi Tak Lagi Jadi Agenda Utama

10 Januari 2019   11:18 Diperbarui: 10 Januari 2019   11:51 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (kiri) didampingi Penasihat organisasi, Yudhi (kanan) memberikan pernyataan sikap mereka atas aksi teror terhadap dua pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (9/1/2019). (Kompas.com)

Aksi teror kembali menampakkan diri dalam wujud yang menakutkan. Tanpa peringatan, rumah dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserang bom molotov dan bom pipa. Peristiwa ini bukan hanya mengusik ketentraman warga negara, tapi juga sebuah serangan terhadap upaya pemberantasan rasuah di negeri ini. Ini yang disesali. Pemerintah lalai melindungi KPK, sehingga perlawanan koruptor kian merajalela!

Teror terhadap KPK bukan kali ini saja terjadi. Setahun lalu, penyidik senior KPK, Novel Baswedan, harus rela kehilangan salah satu mata karena diserang orang tak dikenal dengan air keras. Pemerintah berlagak serius. Presiden Joko Widodo pun sampai menginstruksikan kepala Polri untuk segera menuntaskan perkara itu. Rupanya, pepesan kosong. Setahun berlalu, tak seorangpun pelaku yang berhasil ditangkap.

Kita semua tahu, korupsi sudah menjadi penyakit kronis bangsa ini. Sudah menjadi penyakit struktural, sama seperti kemiskinan yang telah berurat berakar sangat dalam. Juga sudah seumpama ketiak ular, yang panjang berlanjut, tidak ada putus-putusnya. Di tahun 2018 saja, ada 29 orang kepala daerah yang diciduk KPK. Belum lagi mega skandal pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara Rp2,3 triliun dan diduga melibatkan lebih dari 40 orang anggota DPR.

Namun, kita melihat pemerintahan Jokowi tidak memiliki komitmen dalam mengatasi tindak pidana rasuah ini. Upaya pemberantasan korupsi tak lebih dari sebuah ihktiar basi. Saat penyidik KPK mendapat serangan, pemerintah seolah tidak berbuat apa-apa. Sama sikapnya ketika lembaga antirasuah itu digembosi para wakil rakyat dari partai politik penguasa, pemerintah hanya bisa diam dan menutup mata.

Tak salah kiranya jika Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jauh lebih baik dibanding rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Contohnya, dalam mengusut perkara pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, SBY berani membentuk tim 8 guna mencari fakta. Meski kala itu ada indikasi keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu.

Tetapi, dalam kasus Novel, Jokowi melempem. Jangankan mengungkap skandal korupsi besar, untuk menangkap dua orang pelaku kejahatan penyiram air keras saja, pemerintah tidak sanggup. Inilah yang terjadi jika hukum sudah tidak berdaya. Hukum hanyalah gertakan verbal yang berpura-pura mengganyang kejahatan, tetapi di belakang berkompromi karena ketidakberdayaan.

Rakyat saat ini rindu dengan sikap pemerintah terdahulu yang selalu berpihak dan membela lembaga antirasuah, setiap ada upaya pelemahan dari berbagai pihak. Seperti saat KPK berkonflik dengan Polri dalam kasus yang dikenal dengan cicak vs buaya, SBY dengan tegas berusaha melindungi KPK.

Kala itu, Ketua KPK, Antasari Azhar tengah bermasalah karena terlibat pembunuhan berencana. Kemudian juga Wakil Ketua Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah ditahan, sehingga pimpinan KPK tinggal dua orang. SBY langsung mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan KPK, dengan menunjuk tiga orang pelaksana tugas. Selain itu, Presiden SBY juga memerintahkan deponering atau mengesampingkan perkara yang menjerat para pimpinan KPK.

Tiga tahun sesudah itu, SBY kembali pasang badan membela KPK. Saat puluhan anggota Brigade Mobil (Brimob) mengepung gedung KPK karena berencana menangkap penyidik KPK, Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Bengkulu. SBY kembali turun tangan menengahi persoalan. Ia meminta kedua lembaga untuk saling memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, agar masalah bisa segera diatasi.

Sikap seperti inilah yang tidak ditiru Jokowi. Perang terhadap korupsi tampaknya sudah tidak lagi menjadi agenda utama. Inilah yang membuat kita semakin mengelus dada. Intelijen seolah tak bekerja, pemerintah juga amburadul dalam mengelola Negara. Wajar saja jika di negeri ini, teror terhadap para pemberantas rasuah tumbuh subur merajalela, mengancam keseharian hidup mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun