Mohon tunggu...
Rere Muninggar
Rere Muninggar Mohon Tunggu... -

Hobi membaca dan menulis apa saja yang bisa dibaca dan ditulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Lagu Rindu untuk Ibu

23 Desember 2013   15:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Nomor Urut 266) Teriring salam dan rindu untuk malaikat yang dikirim Tuhan untuk melimpahkan segala kasih dan sayangnya untukku. Ialah seorang ibu yang senantiasa tidak pernah luput cinta dan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ia yang melimpahkan segenap berkas cahaya kesejukan yang serta merta hanya untuk buah hatinya. Ia yang tidak pernah lelah berdiri tegap mengayomi demi keindahan hidup putra-putrinya.

Ibuku tersayang, aku sangat berterima kasih kepada sang Pencipta atas anugerah dan kesempatanNya untukku dapat bernostalgia sejenak dengan tinta-tinta yang bertaburan dan meliuk-liuk diatas kertas putih yang hanya aku persembahkan untukmu seorang. Sudah sangat lama aku memiliki kerinduan untuk berbagi beberapa lembaran-lembaran kertas kepada ibu, namun apalah daya kekuatan-kekuatan alam yang masih belum mengijinkan aku untuk menyampaikan langsung kepada ibunda. Namun demikian, waktu sekarang inilah yang dirasa tepat untuk mengungkapkan seluruh isi hatiku yang belum sempat terucap kepada ibu.

Dengan sayup-sayup suara hujan yang mengiringi tulisanku ini, aku akan berkata yang sejujur-jujurnya dari lubuk hatiku yang paling dalam, betapa aku sangat merindukanmu. Wajahmu yang jauh disana selalu hadir didalam memoriku, disetiap napasku, dan disetiap seruan-seruan doaku. Bukan apa-apa, hanya untuk mnghilangkan rasa rinduku dikala rasa itu menyerangku. Demi kelegaan yang berarti, setiap malam sebelum aku istirahatkan sejenak ragaku, tidak lupa kupandangi photomu bersama bapak dan saudara-saudaraku yang lain. Hem, aku jadi mengingat dan mencoba mengingat-ingat pada memoriku waktu kecil dulu, waktu aku masih bersama engkau dan bapak. Semasa kecil, dengan sifatku yang pendiam dan penurut, engkau mengajarkanku banyak hal. Terlebih ketika bapak telah tiada ketika umurku baru tiga belas tahun, engkau seakan mengarahkan cermin besar kearah ku, dan ke arah enam saudaraku yang lainnya.

Sedikit cerita mengenai bapak, aku masih sangat mengingatnya. Kala itu, hari pertamaku pendaftaraan memasuki sekolah menengah pertama. Saat itu ibu sedang sibuk bekerja. Sempat hatiku risau karena takut ibu tidak dapat menghantarkanku mendaftar di salah satu sekolah favorit yang sudah lama aku ingin menginjakkan kakiku disana. Dan benar saja, ibu tidak bisa menghantarkanku ke sana. Seandainya ibu tahu, aku sangat sedih, seakan sudah tidak ada lagi yang peduli denganku. Namun aku keliru. Bapak rela mengambil cuti diperusahaannya bekerja demi ingin mengantarkanku mendaftar masuk sekolah baru. Tak terkira rasa bahagiaku kala itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan dan berseru kepada bapak bahwa bapak adalah bapak yang hebat. “Bapak hebat mau menemaniku ke sekolah. Nanti sepulang dari sekolah kita beli sepatu ya,pak” kataku kegirangan. Bapak tersenyum lebar sembari menganggukkan kepala. Senyuman kebahagiaan itulah adalah senyuman terakhir bapak yang sempat ditanamkan bapak dihatiku sebelum beliau kembali ke istana megahnya bersama Tuhan. Ya, senyuman itu tumbuh seiring berjalannya waktu, dan selalu aku simpan lekat-lekat dan tidak akan pernah aku pudarkan.

Ibu, sejak kepergian bapak, ibulah pengganti bapak dan sekaligus menjadi ibu bagi anak-anakmu. Engkau membanting tulang demi kelangsungan hidup kita. Engkau tidak pernah mempunyai rasa malu sedikitpun untuk melakukan kegiatan halal apa saja yang ibu mampu. Tidak segan-segan ibu membuat kue dan jajanan pasar, yang kemudian ibu titipkan ke toko-toko di pasar dekat rumah kita. Setiap pukul dua pagi, ibu bangun dari mimpi indah semata-mata untuk bersiap-siap melakukan aktifitasmu. Ya, setiap hari ibu bangun pagi-pagi sekali untuk membuat kue dan kemudian ibu bergegas ke pasar untuk menitipkannya ke pelanggan ibu. Setelah itu ibu pergi ke kantor kelurahan sebagai tenaga honorir kala itu. Sebelumnya pelanggan kue ibu masih sangat sedikit, namun ibu percaya bahwa rejeki sudah Tuhan yang mengatur. Dan alhasil pelanggan ibu menjadi lebih banyak sampai ibu kewalahan membuat kue setiap harinya. Rasanya hati kecilku ingin tersenyum mengingat kesibukan ibu waktu itu. Bagaimana tidak? Pernah suatu waktu ibu lupa memasukkan salah satu bumbu adonan kue ke dalam baskom yang sangat besar. Apakah ibu masih mengingatnya apa yang terjadi kemudian? Ya, kue ibu menjadi keras dan kurang enak! Apakah ibu masih ingat, hasil kue itu kita makan bersama-sama dengan kakak-kakakku yang lain. Meskipun rasanya kurang enak, dan jujur saja memang rasanya tidak enak, namun dengan penuh canda tawa kita dapat menghabiskannya juga. Sangat aneh memang, namun aku sangat menikmatinya. Kita bercanda gurau hingga tak terasa air mataku menetes gembira melihat kita dapat tertawa lepas kala itu.

Ibuku tercinta, ada satu kenangan yang masih aku bawa hingga detik ini. Kenangan dimana saat pagi-pagi sekali aku membantu ibu mengantar sepiring kue ke warung langganan ibu. Sebelum kita berangkat, ibu sempat memintaku untuk mengecek ban sepedaku, apakah masih keras atau sudah mengempes? Tanpa aku lihat terlebih dahulu, aku katakan saja ban sepedanya masih keras sehingga aku tidak perlu memompanya terlebih dahulu. Dan engkau percaya begitu saja.

Ketika asik mengendarai sepeda, benar saja ban sepadaku mengempes di tengah perjalanan. Waktu itu aku memboncengkan ibu. Terpaksa ibu turun dari sepeda dan aku yang akhirnya menghantarkan kue ke warung langganan ibu, sembari ibu berteduh di bawah pohon dipinggir jalan karena ketika itu hujan turun. Dengan sekuat tenaga aku mengayuh sepedaku melawan arah angin hujan. aku berusaha membawa kue dengan satu tanganku dan tangan yang lain mengendalikan sepedaku yang melaju sangat berat. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak ingin membuat ibu kecewa, karena semua ini akulah penyebabnya.

Dengan hati yang kalut dan sedikit terisak, aku sangat merasa bersalah padamu, ibu. Jika aku mau menuruti perintah ibu, tidak akan seperti ini jadinya. Tapi untungnya kue buatan ibu selamat sampai di warung langganan ibu, tanpa ada yang rusak satupun. Aku tidak perduli baju dan badanku basah terguyur hujan, setidaknya aku dapat menebus kesalahanku kepadamu, meskipun engkau tidak menyalahkan aku. Ampuni kesalahanku, ibu.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhanku dan juga kakak-kakaku semakin banyak. Jenjang sekolah kami semakin tinggi dan karena itulah biaya sekolah juga semakin naik. Namun kakakku yang pertama sudah mendapatkan pekerjaan pertama disalah satu perusahaan Garmen terkenal di Palembang. Setidaknya beban ibu berkurang karena kakakku sudah ada yang bekerja. Meskipun begitu, ibu tidak mau terlalu mengandalkan penghasilan kakak. Ibu tetap berjuang sendiri walau usia ibu semakin bertambah dan sebagian rambut ibu sudah memutih. Selain menitipkan kue-kue di pelanggan ibu, setiap sore ibu masih membuka warung makan sederhana di depan rumah. Meskipun aku anak laki-laki, aku tidak malu membantu ibu memasak di dapur. Menyiapkan bumbu-bumbu dan membantu mengolah sayur dan lauk-pauk yang akan dihidangkan di warung makan. Tidak lupa juga aku membantu memasak gorengan sebagai pelengkap makanan. Semuanya aku lakukan dengan segenap hatiku. Apapun akan aku lakukan untuk ibu, karena engkaulah pelitaku. Restumu adalah surga bagiku, doamu adalah penyemangat hidupku, dan senyumanmu sebuah kebahagiaan untukku.

Ibu, sejuta lagu yang aku ciptakan tidak akan pernah mampu membalas semua perjuangan yang telah engkau korbankan untuk anak-anakmu, namun sedikit tulisan didalam surat ini setidaknya mampu menghiburmu kala engkau juga merindukan kami anak-anakmu. Tidak ada niatan secuilpun untuk tidak membahagiakan ibu. Beri aku waktu untuk dapat membuktikan kepadamu bahwa aku mampu membalas semua kebaikanmu kepadaku, walau tidak setara dengan yang telah engkau berikan kepadaku. Terima kasih engkau telah melahirkan aku dan merawat aku hingga aku mampu menjalani kehidupanku sendiri. Terkadang aku berangan-angan, seandainya nanti ada reinkarnasi dalam kehidupanku selanjutnya, dan seandainya Tuhan memberikanku kesempatan untuk memilih, aku memilih kembali ke rahim ibu dan ibu yang melahirkan aku kembali ke dunia yang indah ini. Namun jikalau Tuhan belum mengijinkan, biarlah aku bertemu ibu dan tersenyum bersama-sama di surgaNya yang kekal. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku sayang ibu.

“Tersenyumlah ibu, tersenyumlah. Perlihatkanlah cahayamu kepada kami anak-anakmu. Cahayamu adalah kekuatan kami untuk melangkahkan kaki menuju bait surgamu. Sinarmu yang selalu siap menerangi langkahku. Sinarmu yang mampu menghangatkan kebekuanku ketika aku merindukanmu. Sinarmu yang siap mengangkatku ketika aku terjatuh. Namun sisakan sinarmu itu,ibu, untuk dapat engkau gunakan ketika engkau menyambut kepulanganku, anakmu yang selalu merindukanmu.”

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (http://www.kompasiana.com/androgini) dan Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun