Mohon tunggu...
Raina Widy
Raina Widy Mohon Tunggu... Guru -

Terbuka dengan perbedaan pendapat rainawidy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Rapor, Antara Dilema dan Tuntutan

17 Desember 2017   08:26 Diperbarui: 17 Desember 2017   09:32 2273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.students.id

Segerombolan remaja laki-laki berseragam putih abu-abu sedang bercengkrama di warung rokok tak jauh dari sekolah mereka.

"Eh nilai matematikaku nih 80, padahal aku jarang ngerjain tugas haha..."

"Bahasa-ku nih 90. Dapet dari mana nilai ini, aku banyakan tidur di kelas," anak laki-laki yang lain menimpali.  

"Baek-baek nian guru kita"

Gelak tawa memenuhi warung kecil tersebut bersama mengepulnya asap rokok.

Saya tidak sengaja mendengar percakapan tersebut ketika melintasi sebuah warung kecil di jalanan menuju rumah saya di hari pembagian rapor beberapa tahun yang lalu. Anak-anak ini tidak tahu betapa beratnya guru-guru mereka harus menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Hari-hari ini sistem pendidikan kita memang banyak memberikan perubahan sekaligus kejutan-kejutan. Dan semoga kejutan-kejutan tersebut memberikan kebahagiaan yang adil baik bagi guru dan pihak sekolah, siswa dan orang tua siswa.

Semenjak pemberlakuan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), nilai-nilai rapor nyaris tidak ada yang kecil. Rata-rata 75 ke atas. Bahkan menulis 75 saja tidak diperbolehkan, paling kecil 77 atau 78. Untuk kelas akhir seperti kelas 12, nilai paling kecil 80, itu pun harus ditulis 81 minimal. 

Analoginya seperti membeli barang bermutu rendah dengan harga mahal. Kesal ya? Tidak sedikit guru yang enggan mengoreksi lembar-lembar jawaban bukan karena malas, hanya sudah bisa ditebak isi jawaban mereka.

Mengoreksi lembar jawaban beberapa anak-anak yang dianggap pintar dan rajin sudah dapat mewakili jawaban anak sekelas. Sisanya hanya menyalin jawaban teman bahkan banyak yang mengosongkan nomor-nomor soal. Dari anak-anak yang rajin tersebut sudah dapat diperkirakan nilai tertinggi di rapot. 

Bagaimana dengan nilai anak-anak yang malas dan sering bolos? Di sinilah letak dilemanya. Nilai di bawah 20, 30 harus digenjot di atas 75. Rasanya tidak adil sekali, ada perasaan berdosa pula karena ini sama saja dengan memanipulasi. Jika tidak mau, guru yang bersangkutan mungkin akan mendapat teguran karena ini berhubungan dengan reputasi guru itu sendiri dan reputasi sekolah.   

Saya kira kebijakan batasan pemberian nilai yang dikeluarkan pemerintah cukup bagus. Guru dituntut agar mampu mengajar dengan target nilai yang sudah ditentukan sebagai indikator keberhasilan.

Apa yang terjadi di lapangan adalah target nilai tersebut malah membuat lesu suasana berkompetisi. Anak-anak sudah paham walaupun tidak menjawab dengan benar sekalipun, nilai-nilai mereka akan tetap 'baik-baik' saja. Pada akhirnya guru pula yang dituntut memperbaiki nilai di rapor. 

Kesimpulannya, jika Anda ingin melihat apa saja yang sudah didapat anak dari sekolah, jangan fokus ke nilai rapornya tapi fokuslah pada ilmu pengetahuan, keterampilan yang sudah dicapainya dan bakat yang terus terasah. 

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun