Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Fungsi Sosial Olahan Mie dan Mie Instan di Pedesaan

11 Agustus 2022   07:34 Diperbarui: 15 Agustus 2022   04:02 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyimak pemberitaan pangan dari berbagai pihak tentang kecemasan kenaikan harga pangan membuat konsumen mengernyitkan dahi sementara, seperti memberikan respon "Ada kejadian apa lagi nih?", "Bakalan dibikin ngantre bersyarat lagi ga ya?", "Aplikasi apa lagi yang bakalan dipake ketika transaksi?" dan banyak hal-hal overthinking lainnya. 

Ternyata itu hanya berlaku untuk beberapa kelompok yang memang pola konsumsinya memasukkan frekuensi mie instan atau olahan mie, bagi yang jenis makanan yang diolah dari beberapa produk pangan tidak cemas dan khawatir walau satu jenis harganya melambung, ketika tidak dikonsumsi warga dalam golongan makanan pokok ya santai saja. 

Hal ini berlaku di daerah pedesaan tempat tinggal saya di salah satu wilayah Jawa Barat. Kami warga desa "#TidakCemasPadaHilangnyaMieInstan itu bukan makanan pokok kami, cuma kadang-kadang masak mie instan kalau lagi pengen doang dan itu jarang". Sampai demikian responnya karena banyaknya makanan lokal lain yang bisa langsung dikonsumsi. 

Memangnya, siapa saja penikmat mie instan? Apakah sudah yakin frekuensi konsumsi dalam 24 jam lebih dari 1 lusin habis oleh seorang diri? Sedoyan-doyannya seseorang dengan mie instan karena cita rasa dari bumbu instan, ya ada titik jenuh. 

Hal ini jika mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Prancis yang terkumpul pada Asosiasi Sosial Gastronomi ada yang namanya "Boring Flavour", artinya kebosanan pada rasa dari suatu makanan olahan entah itu olahan rumahan atau pabrikan. 

Nah, bisa ditarik kesamaan pada mie instan lama-lama jika dikonsumsi secara sering akan timbul kebosanan, bukannya kenyang malah bereaksi ingin muntah atau jadi tidak selera. 

Di pedesaan yang saya tinggali adanya bukan mie instan tapi sohun/soun yang warnanya kadang kebiru-biruan atau putih berkilau kalau belum diolah.

Mie instan itu ada tapi merknya terbatas dan variannya juga varian andalan yang suka dibeli warga dan kesenengan warga seperti: mie goreng dan mie rebus, itu pun rasa kari ayam dan soto yang laris dibeli, sisanya keseringan mengernyitkan dahi karena merasa aneh dengan rasa-rasa baru ini di lidah orang desa. 

Informasi mie instan dengan berbagai varian rasa banyak diketahui di warkop. Karena ada monopoli harga kalau rasa rendang naik seribu rupiah. Padahal sama saja cara pembuatan dan penyajiannya. 

Jadi memang, karena di daerah pedesaan terbiasanya makan sohun/soun (ya itu golongan mie juga kalau kategori makanan). Tapi, tetep sebutannya sohun/soun. Diolahnya itu hanya menggunakan bumbu krecek atau bumbu besengek campur tahu kalau ada, ya kalau tidak ada, di warung nasi sunda soun/sohun sering nyempil dicampur buncis di kelompok osengan/tumisan. Dan saingannya sama mie telor yamin asin bumbu bawang yang gurih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun