Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Natal Kang Je

26 Desember 2019   11:03 Diperbarui: 26 Desember 2019   11:14 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: @marvingil/twitter.com

"Hey, selamat natal..." Suara menyeruak begitu saja selepas misa natal kali ini.

Spontan kepalaku menoleh. Yang tadi berseru tersenyum lebar. TanganNya hendak terjulur padaku, tapi ada anak-anak kecil yang mendadak saja mengerubunginya. Dia nampak kewalahan. Aku senyum-senyum saja melihatNya.

Kira-kira 15 menit, Dia Nampak sibuk meladeni semua anak-anak dan orang dewasa yang datang kepadaNya untuk mengucap salam. Diantara mereka bahkan ada yang sengaja mengajak selfi.

Sebagaimana layaknya orang-oang kalau selfi, ternyata mereka semua jago gaya semua... Dari yang resmi sampai yang gaya bebas. Setelahnya, tentu saja upload ke masing-masing medsos. Segala jenis merek HP menjadi pengganti salaman yang sempat begitu memenuhi kerumunan Kang Je tadi.

"Ritual perayaan masa sekarang, bukannya ngobrol lebih lama, malah upload," omel Kang Je, tapi sambil senyum-senyum. Rasanya Dia sudah paham betul anak-anakNya ini beda cerita tiap masanya. "Kamu sendiri ngapain natal kali ini?"

Aku menoleh ke Seseorang yang sudah ada di sampingku. Perasaan, Dia masih ada di sana, kenapa sudah ada di sampingku lagi? Senengnya ngagetin aja nih Kang Je....

"Natalanku? Ah, biasa saja... Sama seperti tahun-tahun lalu...," jawabku setengah malas-malas. "Pulang gereja ini, sampai rumah, makan, main HP, tidur, nonton drakor, makan lagi, update status, tidur lagi... Gitu aja..."

"Nggak ingin kemana gitu?"

Kepalaku menggeleng. "Musim liburan begini, males Kang... Macetnya itu loh..."

Kang Je tersenyum.

Sekarang duduknya menghadap ke depan.

"Saat Aku lahir hanya di palungan, tanpa Kasur busa. Selimutnya pun cuma kain lampin.Bapak ibuKu pun tak sanggup menginap di penginapan mahal. Hanya di kendang domba. Sederhana kan? Tapi sarat makna..."

Kang Je ganti menghadap ke arahku, "Lalu, kenapa makin ke sini kelahiranKu diperingati dengan sesuatu yang jauh dari sederhana?"

"Ya, mungkin karena mereka ingin memperingatinya dengan lebih dalam dan indah bersama keluarga besar. Plus, punya duit juga, Kang..."

Raut datar Kang Je mendadak berubah sedikit, seperti orang berpikir. Dia melihat sekitarnya dulu. Orang-orang yang tadi memintanya untuk foto bareng sekarang terlihat sedang bersama orang-orang terdekatnya. Ngobrol, bercanda atau selfi lagi. Senyum Kang Je terulas melihat adegan di depan.

"Sebenarnya maksudku, bukan soal kemampuan mereka daripada saat Aku lahir... Aku justru ingin mengembalikan jawabanmu atas pertanyaanku tadi padamu. Jawabanmu seolah natalmu biasa saja karena tidak bisa kemana-mana sebab macet. Kenapa macet? Ya karena perayaan kelahiranKu dimana-mana dengan caranya masing-maasing. Paradok bukan? Satu sisi ada yang merasa biasa saja, satu sisi ada yang berlebihan hingga membuat yang lain sedikit terganggu."

"Jadi, aku harus bagaimana menurut Akang?" aku jadi bingung sendiri.

Kembali Kang Je balik arah, menghadapku. Tapi, kali ini matanya menatapku penuh kedalaman. Penuh arti.

Aku hanyut

Tak kuat.

Pasang mat aitu selalu mempesona di saat hati penuh tanda tanya, di sana seperti ada segala jawabannya.

"Natal itu adalah sukacita, dengan atau tanpa pesta. Bahwa kamu memang tidak bisa berkumpul bersama keluarga, mungkin memang saat ini harus kamu terima. Yakin saja sukacita kelahiranKu tetap ada di sana..." Kang Je menepuk bahuku.

"Lalu, buat yang katamu punya duit untuk merayakan kelahiranKu dengan sangat meriah, semoga selalu ingat ada orang lain yang tak seberuntung mereka. Bukan saja karena tidak bisa sama berpesta, tetapi juga karena caranya itu menjadi hambatan beraktivitas yang lain..."

Aku tambah terdiam. Bukankah itu yang sedang kualami sekarang ini? Terbelenggu dengan kesan natal adalah sebuah pesta yang justru menutup arti sukacitanya sendiri?

"Kata Romo yang tadi mimpin misa kan Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang (bdk. Yohanes 15:14-15). Itu berarti apa pun yang kamu lakukan harus mengingat dan perhatian kepada orang lain."

Nah ini bener banget. Tema Natal tahun ini memang pas banget sebenarnya. Mengingatkan kita pada sekitar dan diri sendiri juga pastinya. Tadi sempat kulihat, beberapa orang membicarakan tema ini dengan menghubungkan suasana.

"So... Ini bukan melulu natalmu yang biasa atau luar biasa saja. Tapi, apakah yang biasa itu selalu ada sukacitaKu?" Kang Je berdiri sembari mengibaskan jubah putihNya. "Aku meu papotoan lagi sama anak-anak kecil itu..." TanganNya menunjuk sekelompok anak yang sedang menujuNya sembari membawa semacam hadiah-hadiah kecil.

"Btw... Kamu nggak ngucapin selamat natal buatKu? Atau termasuk yang nggak mau mengucapkan itu? Hahahaha..." Tawa Kang Je begitu lepas. Sepertinya dia terhibur sekali dan tidak ada beban.

"Enggak lah, Kang... Emang ngefek soal boleh nggaknya ngucapin soal natalMu?"

Kepalaku sedikit ditarik dan sekonyong-konyong ada sentuhan ciuman lembut di kening. "Selamat natal lagi, anakKu. Dengan atau ucapan, Aku selalu ada untuk semua anak-anakKu..."

Waahh.... Aku nyaris membeku dan tak bisa berkata apa-apa.

Ini indah sekali.

"Selamat natal juga, Kang.," ujarku akhirnya. Keluar begitu saja dari mulutku sebagaimana syukur tak habis atas kehadiranNya.

Kapan pun.

Dimana pun.

(Natal kedua 2019)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun